6 Desember 2011

MEMBANGUN KEUNGGULAN GENERASI BANGSA





Pendidikan karakter mestinya ibarat oksigen dalam kehidupan ini, siapapun dia, apa pun statusnya, berapa pun usianya, membutuhkan oksigen untuk bekal menjalani kehidupan.
Itulah yang ingin diterapkan pada pendidikan karakter di lingkungan Kemdiknas. Lalu apa pentingnya pendidikan karakter? Pertanyaan pendek ini bisa memunculkan jawaban penajang dan beragam. Bahkan tidak mustahil menjebak kita ke dalam kumparan definisi yang rumit, silang argument yang memancing selisih pendapat.
Walau pertanyaan ini melahirkan sederet pengertian, namun semua pasti sepakat dalam satu hal, betapa pentingnya pendidikan karakter bagi pembangunan generasi bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sasaran pendidikan karekter, sebagaimana yang dikatakan oleh presiden SBY, bukan hanya kecerdasan, ilmu dan pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia, inilah karakter.
Mengutip pemikiran Aristoteles, ada dua keunggulan manusia (human excellent). Pertama, keunggulan, kehebatan dalam pemikiran. Kedua, keunggulan, kehebatan dalam karakter. Kedua jenis keunggulan manusia ini dapat dibangun, dibentuk, dan dikembangkan, melalui pendidikan.
Sesungguhnya karakter yang ingin dibangun bukan hanya sekedar karakter berbasis kemuliaan diri semata, tapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa.
Karakter yang ingin dibangun bukan hanya kesantunan, tapi secara bersamaan dibangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaran intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi.
Ada ilustrasi yang bisa menggambarkan tentang pentingnya karakter, yaitu permainan sirkus. Dalam dunia sirkus, pelaku-pelakunya telah mengalami kehilangan karakter orisinilnya (genuine character). Singa sang raja hutan yang mestinya galak, menjadi hewan penurut. Demikian juga yang terjadi pada hewan-hewan lain, sehingga menjadi aneh dan lucu.
Semakin aneh dan lucu semakin terkagum. Itulah dunia sirkus, dunia keanehan dan kelucuan. Sebagai lelucon, memang menarik dan kalau kita terjebak dalam keanehan dan kelucuan  itu, berarti kita sebagai pengikut madzhab sirkuisme.
Tentu, dunia riil kita bukanlah dunia sirkus, oleh karena harus kita bangun dan tumbuhkan karakter orisinil kita sebagai bangsa antara lain; pejuang, tangguh, cerdas, cinta tanah air sekaligus santun dan penuh kasih saying.
Pendidikan kita, secara imperative harus mampu membangun kembali karakter orisinil tersebut, karena kalau tidak semua khawatir akan menjadi bangsa lelucon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar