11 Januari 2013

PERANG IDEOLOGIS SASTRA KE-ISLAM-AN DI INDONESIA


Karya sastra merupakan karya yang mengandung berbagai macam fungsi. Di dalam karya sastra mengandung nilai-nilai atau ajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Di samping itu, karya sastra juga menggambarkan identitas. Identitas kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat dari corak kebudayaan yang tereflesikan di dalam karya sastra itu. Itu sebabnya karya sastra tidak pernah lepas dari latar belakang kebudayaan yang mendasari lahirnya karya sastra tersebut. Corak karya sastra ini dapat dibedakan karena berbagai hal; bahasa, budaya, politik, kondisi ekonomi, dan yang paling penting adalah keyakinan atau agama. Itu sebabnya peranan pengarang dalam hal ini sangat penting, sebagai subjek yang membuat karya sastra itu.
Di indonesia, karya sastra yang berlatarbelakang keagamaan sebenarnya sudah lama ada. Meskipun karya sastra dengan corak ini timbul tenggelam sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Itu sebabnya, karya sastra dengan corak keyakinan atau keagamaan ini belum bisa mewarnai secara menyeluruh atas nilai-nilai ataupun gagasan yang ada di dalam masyarakat bangsa ini. Setelah Era Reformasi karya sastra bercorak ke-islam-an bermunculan. Adanya reformasi telah memberikan angin segar kepada para penulis muda muslim mengekspresikan pemikiran mereka melalui karya sastra bercorak keagamaan ini. Habiburahman El Sirazy, Golagong, Asma Nadia, Helvy tiana Rosa dan penulis muslim lainnya telah menorehkan pengaruh yang sangat penting bagi kesusastraan di Indonesia.
Era Reformasi memberikan angin segar kepada para penulis di bidang kesusastraan, karena longgarnya pengawasan pemerintah terhadap media massa, termasuk karya sastra. Namun demikian, nampaknya kesempatan ini belum digunakan oleh para sastrawan ataupun kritikus muslim untuk mengembangkan karya sastra di bidang ini secara maksimal. Lahirnya penulis dari kalangan muslim dan menyuarakan keagmaan mungkin sudah mulai timbul kesadaran. Mengingat jumlah penduduk yang mayoritas muslim; para penulis banyak yang berminat mengangkat isu-isu keagamaan ataupun moral yang memakai latar belangakan masyarakat atau tokoh ke-islam-an sebagai media kritiknya. Namun yang disayangkan, justru kritikus di bidang karya sastra islam ini masih sangat minim. Mungkin kita mengenal Gunawan Muhammad, Taufikq Ismail, dan beberapa pengamat sekaligus sastrawan yang berminat mengkritisi atau mengangkat kesusastraaan islam. Tetapi karena jumlah mereka yang masih sangat terbatas, maka gaungnya pun masih kalah dibandingkan dengan mereka yang concern pada karya sastra yang bercorak liberal sekuler.
Di lapangan bisa kita lihat bagaimana popularitas Ayu Utami yang dianggap sebagai pelopor kebebasan bagi perempuan dalam karya sastra. Karya Ayu Utami mengalami lonjakan penjualan yang luar biasa karena penilaian posistif dari para pengamat dan pendukung liberalisme dan sekulerisme. Karya sastra Saman danLarung, karya Ayu utami langsung disambut diberbagai negara sebagai karya monumental yang dapat memberikan alternatif pemikiran bagi wanita modern di Indonesia. Ketenaran Ayu utami tidak lepas dari banyaknya pengamat dan kritikus yang mendukung karya ini. Sehingga karya ini sampai diterjemahkan dalam banyak bahasa.
Sebenarnya secara kualitas, karya sastra bercorak ke-islam-an tidaklah kalah dengan karya-karya sekuler liberal ala Ayu Utami. Baik dari gaya bahasa, muatan isi, apalagi pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra ke-islam-an. Karya Habiburahman Rahman, mungkin bisa menjadi saingan karya Ayu Utami. Namun demikian nyatanya sampai detik ini masih sangat minim pengamat dan kritikus yang mau mengangkat karya-karya besar ini. Kalau pun ada masih terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Demikian juga, penelitian-peneltiian di perguruan tinggi, mahasiswa yang berminat menelaah karya sastra dengan corak keislaman ini masih sangat minim, di perguruan tinggi islam sekalipun. Padahal, jika ditelaah secara ilmiah maupun muatan karya Habiburahman lebih mengena bagi masyarakat Indoneisa. Minimnya kritikus dan lembaga yang bisa mengangkat karya sastra keislaman mengakibatkan karya sastra yang mengandung nilai-nilai keislaman tidak setenar karya yang sifatnya umum.
Karya sastra yang mendasarkan diri pada nilai-nilai keislaman merupakan karya sastra yang memiliki nilai plus. Di samping menghibur pemirsanya, karya sastra ini mengajarkan nilai-nilai keislaman; baik akhlaq, aqidah dan juga ibadah. Cara berbicara, berpakaian dan pergaulan dalam masyarakat memiliki ciri tersendiri. Interaksi yang terefleksikan masing-masing tokoh dalam karya sastra islam menawarkan karakteristik yang lebih santun dan sopan. Di sinilah mengapa beberapa pengamat mengatakan bahwa sastra islam merupakan genre tersendiri *).
Apa itu karya sastra Islam?
Menurut A. Teeuw, dalam Sejarah sastra islam Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Sejak jaman kerajaan negara kita sudah memiliki banyak sastrawan yang mengangkat isu-isu keagamaan sebagai tema dalam karya sastranya. Tema-tema keagamaan sengaja dimasukan dalam karya sastra dengan tujuan berdakwah atau menanamkan nilai-nilai kepada pembacanya. Tema-tema keagamaan dapat dilihat dari karya Sunan Bonang, Yasadipura II, Ranggawarsita III, Raja Ali haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, HAMKA, Amir Hamzah, Chiril Anwar, dll. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra mampu dijadikan sebagai media dakwah yang menyenangkan dan penuh kedamaian.
Gunawan Muhhammad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sastra keagamaan adalah karya sastra yang menitikberatkan pada kehidupan keagamaan sebagai pemecah masalah. Sastra islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran islam; memuji dan mengakat tokoh islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islam; mengkritik pemahaman islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat islam awal atau paling tidak sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip islam.
Kelahiran sastra ke-islam-an membentuk sebuah ciri yang mungkin tidak terdapat di dalam karya sastra bentuk lain. Sebutan sastra islam dapat dipilah lagi dalam berbagai pentuk pertama, sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlaq baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. Kedua, Sastra suluk yaitu, karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf dinama hubungan jiwa telah dekat dengan Tuhan, yaitu Musyahadah, penyaksian terhadap ke-Esaan Allah. Ketiga, sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan yang Transenden. Keempat, sastra profetik yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.
Itulah gambaran singkat tentang karya sastra ke-islam-an di Indonesia. karya sastra ini memiliki berbagai fungsi yang sangat bagus dalam rangka pendidikan karakter bangsa ini. Dengan demikian, keberadaan karya sastra ini sudah saatnya diperhitungkan dan dikembangkan secara maksimal, agar keberadaannya benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada bangsa dan negara ini.Wallahu’alam bishawab

Ditulis oleh Wajiran, S.S., M.A.
Dosen Fakultas Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Pada Opini Kompas, 11 Januari 2013

SILSILAH RAJA-RAJA KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA


3 Januari 2013

KURIKULUM "BERPIKIR" 2013



Di banyak negara, saya sering menyaksikan siswa sekolah atau mahasiswa yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya. Persis seperti yang dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun 1980-an, atau gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film Monalisa Smile.

Sewaktu mengajar di University of Illinois, saya kerap berhadapan dengan anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus diajarkan begitu banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru di sini. ”Sebentar ya. Biar saya selesaikan dulu.” Namun, anak-anak itu tetap tak mau menurunkan tangannya sebelum dilayani berdiskusi.

Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik yang baik harus cekatan melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang guru besar senior mengingatkan, ”Kami bersusah payah mengubah satu generasi, dari TK hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri.”

Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi di sini? Bahkan di perguruan tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa anakanak sekarang tidak gemar membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.


Dihafal, bukan dipikir

Anak-anak kita punya tradisi belajar yang sangat berbeda, yang mengakar sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang dipelajari jauh lebih banyak, tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang sangat banyak dibuatkan jembatan keledai atau singkatan-singkatan agar mudah dikeluarkan dari otak.


Cara belajar yang demikian berpotensi menghasilkan ”penumpang” ketimbang ”pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu, hidup ”menumpang”, ”dituntun”, atau diarahkan ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.

Seperti tampak di angkutan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga semakin memberatkan.

Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar. Siswa kelas I SD yang ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini: ”Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor mencari nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah.” Anak itu sempat protes karena ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan ”Dihafal saja karena bukunya berkata demikian”. Ibu di rumah berkata serupa: ”Kalau engkau mau naik kelas, dihafal saja.”

Daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda. Sementara mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang menggambar pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan seterusnya.

Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian nasional dan agar diterima di perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan untuk diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal, ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio karyakarya calon mahasiswa.

Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal tetapi tidak berani berbuat, apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir. Ini ditambah lagi tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua kaki-tangannya dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita selalu dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di negara-negara yang mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di negeri penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di televisi, tetapi sedikit sekali kaum elite yang bergerak.


Kurikulum berpikir

Gagasan merampingkan jumlah mata ajaran tentu saja tak boleh diikuti oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para pendidik. Sebab, sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada perubahan yang langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang pasti, seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus, semata-mata kalau dirinya tampak bagus.

Bagi saya, perubahan kurikulum yang ramai diperbincangkan seharusnya dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada sekadar merampingkan mata ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk melakukan transformasi diri manusia Indonesia dari tradisi mindset ”penumpang” menjadi cara berpikir ”pengemudi”. Transformasi ini berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan bertahap hingga ke tingkat pendidikan tinggi.

Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa banyak cara kita belajar sudah harus diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.

Keduanya menunjukkan cara-cara baru membentuk mental pengemudi yang sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi baru di abad ke-21. Jadi, terimalah perubahan dan persiapkan lebih baik.



Ditulis oleh Rhenald Kasali (Guru Besar FE-UI)
Kompas, Jum'at 28 Desember 2012

PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES DAN METODE ACTIVE LEARNING


PENDAHULUAN

Pendidikan nasional memandang manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya, makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya dan makhluk sosial dengan segala tanggung jawabnya yang hidup tengah-tengah masyarakat global dengan segala tantangannya. Dari itulah pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta tanggung jawab[1].
Untuk mewujudkan cita-cita mulia pendidikan, diperlukan sistem pembelajaran yang representatif, yaitu sistem yang mampu mengelola peserta didik mulai dari input, proses dan output berbasis pemenuhan kebutuhan dan pengembangan potensi setiap unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Apabila kebutuhan-kebutuhan manusia dapat terpenuhi, baik kebutuhan jasmani, akal, ruh maupun kebutuhan berinteraksi, maka akan tercipta keseimbangan yang akan berdampak pada kebahagiaan dan kedamaian.
Kenyataannya, pendidikan terutama di Indonesia belum mampu melakukan penyeimbangan dan pengembangan terhadap potensi-potensi yang terdapat dalam diri anak didik. Memang aturan-aturan penyelenggaraan pendidikan sudah mulai tertata terutama setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (NSP). Namun demikian sistem penyelenggaraan pendidikan yang digunakan belum ada perubahan yang signifikan sehingga masih banyak sekolah/madrasah yang beberapa elemen sistem pendidikannya masih kurang sejalan dengan “sistem pendidikan yang proporsional”. Proporsional tidak hanya mampu sekadar seimbang, tetapi juga manusiawi, yakni mampu mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia.
Untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini, maka berbagai potensi dan kecerdasan yang dimiliki anak wajib digali, dikembangkan dan diarahkan dengan baik oleh orang tua, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat, pemerintah dan negara untuk mencetak generasi unggul dan “sukses hidup” di tengah persaingan global. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi, bakat, minat dan kecerdasannya yang berbeda-beda. Menyelenggarakan pendidikan yang memanusiakan anak, memperlakukan anak dengan ramah dan dapat mempersiapkan dan mengembangkan potensi (fitrah) manusia sebagai hamba Allah di dunia dan khalifatullah di muka bumi yang merupakan tujuan utama pendidikan islam.
Menyadari akan berbagai peristiwa di atas terdapat lembaga pendidikan islam yang telah berusaha untuk membenahi sistem pendidikannya melalui “Pendidikan berbasis Multiple Intelligences System (MIS)”, yaitu merupakan suatu sistem pendidikan mulai dari input, proses dan output yang sangat menghargai setiap potensi anak didik. Dalam MIS guru dipantik menjadi inspirator bagi anak didik yang siap menghatarkan mereka untuk menemukan kompetensi terbaik lebih awal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan.

MAKNA KONSEPTUAL DAN IMPLEMENTASI

A.      Konsep Multiple Intelligences System (MIS)[2]
      Teori kecerdasan “Multiple Intelligences”, sebuah teori psikologi yang digagas oleh Howard Gardner,  psikolog dari Harvard University tahun 1983, dengan delapan macam kecerdasan, yakni (1) Kecerdasan verbal/linguistik, (2) Logika matematik, (3) Visual/spasial, (4) Music/rhythmic, (5) Bodi/kinestetik, (6) Interpersonal, (7) Intrapersonal, dan (8) Naturalistic. Dalam dunia pendidikan 8 kecerdasan tersebut telah dijadikan alat tes Multiple Intelligences Research (MIR) untuk mengetahui kecerdasan tertinggi dan gaya belajar anak didik, sedangkan dalam proses pembelajaran dijadikan sebagai strategi untuk membantu mempercepat menemukan kondisi akhir terbaik anak didik, yakni sebuah profesi yang akan menghasilkan kemanfaatan dan keuntungan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat tanpa ada hubungannya dengan ketuhanan/kecerdasan spiritual.

B.      Implementasi
  1.  Untuk melaksanakan pembelajaran berbasis Multiple Intelligences System (MIS) yang mampu mengubah dari kondisi siswa negatif ke kondisi positif dengan berbagai jenis kecerdasan dan kondisi siswa, dilaksanakan rekuitmen guru berkualitas, dengan syarat utama: bersedia terus belajar dan memiliki komitmen, rekruitmen diselenggarakan melalui tes tulis, praktik (microteaching) dan wawancara,
  2.   Proses pembelajaran berbasis Multiple Intelligences System (MIS),
  3.  Penyusunan lesson plan berdasarkan hasil MIR dan SOP dengan memperhatikan 8 kecerdasan tertinggi, dan kondisi siswa,
  4.  Penggunaan strategi Multiple Intelligences dalam pembelajaran didasrkan pada cara kerja otak secara holistic activiteis dan whole brain dengan variasi metode, aktivitas, tugas dan teaching aids yang disesuaikan dengan jenis kecerdasan dan kondisi siswa,
  5.  Materi pembelajaran dikaitkan dan diaplikasikan dengan kehidupan nyata sehari-hari, untuk menumbuh-kembangkan kepedulian lingkungan dan sosial yang berujung pada peningkatan kecerdasan spiritual manuju Islamic Character Building,
  6.  Penilaian kompetensi siswa, meliputi ranah kognitif (daya pikir/pemahaman materi), psikomotorik (produk/karya hasil belajar), dan afektif (sikap/respon siswa selama pembelajaran),
  7.  Siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran satu tema, di remidi dan diberi soal-soal lain hingga siswa mampu menjawab sesuai dengan apa yang dia bisa,
  8.  Penilaian kompetensi guru meliputi: hasil belajar siswa kualitas lesson plan, kreativitas dan perilaku/kinerja. Penilaian tersebut sesuai dengan profesionalisme guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. 


 C.       Kuasi Empat Kemampuan Dasar
Apa yang dilakukan jika menemukan bakat si kecil yang menonjol? Tentu fokus mengasah satu talenta tersebut. Padahal, setiap buah hati menyimpan potensi besar yang semua bisa dioptimalkan.
“Setiap anak berpotensi memiliki kecerdasan majemuk atau multiple intelligence. Syaratnya berkembang dengan baik sejak dari kandungan” tegas dr. Ahmad Suryawan, SpA(K), spesialis tumbuh kembang. Multiple Intelligences (MI) merupakan kecerdasan yang terdiri atas sembilan kecerdasan yakni, kinestetik, linguistik, matematik dan logik, spasial (abstraksi ilmu ukur ruang), visual, interpersonal (hubungan dengan orang lain), intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), naturalis (mengenal tanaman dan hewan), serta musik[3].
Dokter wawan menjelaskan, peluang buah hati bisa menguasai Multiple Intelligences bermula dari kondisi kehamilan sang bunda yang sehat dan proses persalinan yang aman. Dalam proses tumbuh kembang, Bunda tidak perlu memaksa si kecil menguasai semua jenis kecerdasan. Yang perlu dilakukan adalah membuat si kecil menguasai empat kemampuan dasar yakni, motorik kasar, motorik halus, sosialisasi dan berbahasa.
“Jika semua hal itu terpenuhi, ketika anak memiliki perkembangan proporsi yang seimbang, anak itu berhak mempunyai Multiple Intelligence” ujarnya. Semua itu harus dikuasai sebelum buah hati berusia enam tahun.
Kemampuan motorik kasar akan mendorong kecerdasan kinestetik. Bahasa mendorong kecerdasan linguistik dan musikal. Motorik halus mendorong kecerdasan kemampuan visual spasial dan logikal matematika. Sementara kemampuan sosial dan kemandirian bisa mendorong kemampuan natural, interpersonal dan intrapersonal hingga moral spiritual.
Setelah buah hati terlihat menguasai keempatnya, barulah bunda berdiskusi dengan si kecil soal bidang yang paling diminati. Di sisi lain, kenalkan pula beragam kemampuan kecerdasan dengan cara yang fun dan tidak memaksa. “Nanti anak memilih sendiri apa yang disukainya. Kalai anak menyukainya akan muncul potensi di bidang itu” terang wawan.
Satu hal yang haram dalam proses mengasah Multiple Intelligence adalah memaksa si kecil menguasai bidang tertentu. Jika dipaksakan, bakal jadi bumerang. “Si kecil bisa saja menguasai bidang yang diarahkan orang tua. Tetapi mereka tidak akan mendapat potensi sesungguhnya”. Tegas wawan

D.      Active Learning Metode
Metode active learning adalah pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif, dengan menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan masalah, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka ketahui ke dalam persoalan yang adal dalam kehidupan nyata (Zaini, 2002, XVI).
Sesuatu metode pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif menggunakan otak baik untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari kedalam suatu peprsoalan yang ada dalam kehidupan nyata. (Zaini, 2002, XIII).
Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaam semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencpai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. (Hartono, 2009: 1). Dalam hal ini pembelajaran aktif merupakan segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siwa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi, diantaranya aktivitas siswa, peran guru dan pemanfataan lingkungan dalam proses pembelajaran tersebut.
Metode belajar aktif dalam pendidikan agama Islam, khususnya bagi kelas usia rendah merupakan cara yang efektif digunakan karena untuk mempelajari sesuatu dengan baik, belajar aktif membantu untuk mendengarkannya, melihatnya, mengajukan pertanyaan tentang pelajaran tertentu, dan mendiskusikannya dengan yang lain. Yang paling penting mereka memecahkan masalah secara sendiri, memberikan contoh yang kreatif dan melakukan berbagai tugas. Belajar aktif dalam pendidikan agama Islam akan mampu menciptakan lulusan yang mandiri dan kreatif karena segala aktifitasnya itu didasarkan atas pengalaman yang nyata.
Deskripsi penerapan metode active learning, instrumen yang digunakan pada hal ini adalah wawancara kepada guru mata pelajaran fiqih, karena pada siklus II guru juga mendampingi siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode active larning, sehingga guru mengetahui peningkatan baik prestasi maupun minat siswa terhadap pelajaran. Metode active learning sangat perdampak positif bagi proses belajar, siswa lebih aktif, minat siswa meningkat dan prestasi siswapun terbukti meningkat, dalam hal ini dapat memudahkan pendidik dalam PBM untuk memahamkan materi yang diajarkan.


PENUTUP
Kesimpulan dari hasil kegiatan seluruh pembahasan bahwa pembelajaran dengan metode active learning dapat membawa dampak positif terhadap prestasi siswa, dibuktikan dengan perolehan tes yang sangat meningkat dan respon pendidik tentang metode active learning pun begitu positif dan dapat dijadikan acuan untuk materi yang akan datang. Untuk menggunakan metode active learnig, diperlukan perencanaan yang matang untuk mempersiapkan bahan-bahan yang digunakan baik media ataupun materi.


DAFTAR PUSTAKA
 AL-Abrashi, Muhammad ‘Atiyah. At-Tarbiyyah Al-Islamiyah, Kairo; Dar al Ma’rif, 1985.
Agustuan, Ary Ginanjar, Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Jakarta PT. Arga, 2002.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung PT. Mizan Pustaka, 2009.
Elain, B. Johnson. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Asage Publication Company Thousand Oaks, 2002.
Eny Purwati, Ringkasan Disertasi Model Pembelajaran PAI berbasis Multiple Intelligences, Surabaya: Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011.
Gardner, Howard. Development and Education of the Mind. New York: Basic Books, 1992.
______. Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic, 1993.
Hanifudin, Ringkasan Disertasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Multiple intelligences (MI), (Studi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan jenjang SMP. Surabaya: Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2010.
Jawa Pos, edisi Jum’at, 21 September 2012
Malik Fadjar, A. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI, 1998.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Nash ‘Ulwan, Abdullah. Tarbiyah al-Aqlad fi al-Islam. Kairo: Dar as-Salam, 1997.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008.
______. Permendiknas nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
______. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Siswam Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Balitbang, 2004.
______. Peraturan pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan Jakarta: Depdiknas, 2005.
______. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005, Undang-undang Guru dan Dosen. Jakarta: Cemerlang, 2005.


[1] Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 (Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Balitbang, 2004), 4
[2] Eny Purwati, Ringkasan Disertasi Model Pembelajaran PAI berbasis Multiple Intelligences, Surabaya: Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.
[3] Jawa Pos, edisi Jum’at, 21 September 2012

7 Desember 2011

PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER



K
eunggulan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari pendidikan. Demikian juga karakter pribadi seseorang, sebagian besar dibentuk oleh pendidikannya. Karena itu, untuk membentuk pribadi yang terdidik, yang bertanggung jawab, mutlak dibutuhkan pendidikan karakter. Di tingkat sekolah, kultur sekolah perlu dibangun pendidikan kepriibadian, karena kepribadian itu tidak hanya tumbuh dari dalam diri sendiri, tetapi juga dipengaruhi juga oleh berbagai macam interaksi.
Diyakini karakter unggullah yang akan membangkitkan sebuah bangsa. Dan pendidikan yang baik itu mampu memgubah karakter menjadi pribadi terdidik. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita berusaha mengubah paradigm pendidikan kita untuk lebih menonjolkan pembangunan karakter.
Potensi bangsa kita yang begitu besar adalah ibarat air dalam bendungan besar. Kita bisa memanfaatkannya untuk berbagai keperluan, seperti membangun turbin listrik, pengairan, mencuci, mandi, dan lain sebagainya.
Pendidikan karakter ini dibutuhkan sesuai dengan tujuan kita memanfaatkan potensi air yang besar ini, apakah akan digunakan untuk pembangkit lisrik, untuk mengairan, atau yang lainnya. Tapi kalau karakternya tidak dibentuk, maka potensi itu hanya tingal potensi. Seprti air  dalam kubangan karsasa yang tidak bermanfaat apa-apa.

Tiga tahap
Ada tiga tahapan yang harus diajarkan. Pertama, pendidikan yang disampaikan harus mampu menumbuhakan kesadaran, bahwa setiap manusia itu sama, yakni sebagai makhluk Tuhan. Kalau kesadaran atas kesamaan ini tumbuh, maka tidak aka nada perasaan sombong seolah-olah hanya dirinya sendiri yang benar, dan paling super. Sebaliknya akan muncul perasaan salaing menghargai dan saling menyayangi. Kesadaran sebagai makhluk Tuhan juga akan menumbuhkan kejujuran. Sebab, kita tidak akan berbohong di hadapan Tuhan.
Kedua, pendidikan harus menumbuhkan karakter keilmuan. Orang yang berilmu akan memiliki kepenasaran intelektual, sehingga ia bukan hanya cerdas secara pribadi, tapi juga bisa mencerdaskan kehidupannya dengan mampu mencari pilihan-pilihan hidup.
Ketiga, pendidikan harus mampu menumbuhkan karakter kecintaan dan kebanggaan terhadap bangsa. Dengan demikian, setiap individu diharapkan akan menjaga keutuhan bangsa dan memperpanjang kehormatan bangsa.
Dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, ada tiga factor yang harus disempurnakan. Pertama, menyangkut materi atau bahan ajar. Kedua, metodologinya. Ketiga, para pelaku dan stakeholder-nya.
Materi atau bahan ajar meliputi penyempurnaan kurikulum dan fasilitas pembelajaran. Metodelogi, antara lain menyangkut pendekatan dalam penyampaian bahan ajar. Misalnya, para pendidik harus lebih menonjolkan kasih saying kepada para peserta didik. Semua anak didik harus diperlakukan sama, dan pendidik harus menghindari sikap-sikap marah dan emosional.
Dari sisi stakeholder, masyarakat juga harus mampu menciptakan school culture, yakni budaya sekolah dalam upaya membangun karakter yang terdidik tadi. Dalam hal kurikulum, pelaksanaan pendidikan karakter, tidak perlu melakukan perubahan kurikulum. Cukup memperkuat atau memperkaya saja. Setidaknya, ada empat mata pelajaran yang harus diperkaya, yakni Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan (PKn), dan Bahasa Indonesia. Dalam PKn misalnya terkandung pilar kebangsaan yakni UUD 45, Pancasila, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
Matode pengajaran juga tidak harus diseragamkan karena metode pengajaran di lembaga-lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tentu berbeda dengan di sekolah menegah dan perguruan tinggi. Yang jelas, harus ditanamkan dulu kesadaran-kesadaran kognitif, afektif dan psikomotorik, sebelum kesadaran yang bersifat rasional.

6 Desember 2011

MEMBANGUN KEUNGGULAN GENERASI BANGSA





Pendidikan karakter mestinya ibarat oksigen dalam kehidupan ini, siapapun dia, apa pun statusnya, berapa pun usianya, membutuhkan oksigen untuk bekal menjalani kehidupan.
Itulah yang ingin diterapkan pada pendidikan karakter di lingkungan Kemdiknas. Lalu apa pentingnya pendidikan karakter? Pertanyaan pendek ini bisa memunculkan jawaban penajang dan beragam. Bahkan tidak mustahil menjebak kita ke dalam kumparan definisi yang rumit, silang argument yang memancing selisih pendapat.
Walau pertanyaan ini melahirkan sederet pengertian, namun semua pasti sepakat dalam satu hal, betapa pentingnya pendidikan karakter bagi pembangunan generasi bangsa dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sasaran pendidikan karekter, sebagaimana yang dikatakan oleh presiden SBY, bukan hanya kecerdasan, ilmu dan pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku, mental dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia, inilah karakter.
Mengutip pemikiran Aristoteles, ada dua keunggulan manusia (human excellent). Pertama, keunggulan, kehebatan dalam pemikiran. Kedua, keunggulan, kehebatan dalam karakter. Kedua jenis keunggulan manusia ini dapat dibangun, dibentuk, dan dikembangkan, melalui pendidikan.
Sesungguhnya karakter yang ingin dibangun bukan hanya sekedar karakter berbasis kemuliaan diri semata, tapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa.
Karakter yang ingin dibangun bukan hanya kesantunan, tapi secara bersamaan dibangun karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaran intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi.
Ada ilustrasi yang bisa menggambarkan tentang pentingnya karakter, yaitu permainan sirkus. Dalam dunia sirkus, pelaku-pelakunya telah mengalami kehilangan karakter orisinilnya (genuine character). Singa sang raja hutan yang mestinya galak, menjadi hewan penurut. Demikian juga yang terjadi pada hewan-hewan lain, sehingga menjadi aneh dan lucu.
Semakin aneh dan lucu semakin terkagum. Itulah dunia sirkus, dunia keanehan dan kelucuan. Sebagai lelucon, memang menarik dan kalau kita terjebak dalam keanehan dan kelucuan  itu, berarti kita sebagai pengikut madzhab sirkuisme.
Tentu, dunia riil kita bukanlah dunia sirkus, oleh karena harus kita bangun dan tumbuhkan karakter orisinil kita sebagai bangsa antara lain; pejuang, tangguh, cerdas, cinta tanah air sekaligus santun dan penuh kasih saying.
Pendidikan kita, secara imperative harus mampu membangun kembali karakter orisinil tersebut, karena kalau tidak semua khawatir akan menjadi bangsa lelucon.

5 November 2011

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (Studi Tentang Madrasah Nizhamiyah)

(Uswatun Chasanah, Disampaikan pada seminar perkuliahan di  
Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tanggal 11 Januari 2011)

Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat umum, seperti masjid, terdapat lembaga- lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Adapun lembaga- lembaga tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah: al-Kuttab, al-Qushur, Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Majlis dan Madrasah. Berdasarkan macam- macam lembaga tersebut, Ahmad Syalabi membagi institusi pendidikan Islam menjadi dua kelompok, yaitu kelompok lembaga pendidikan sebelum madrasah dan kelompok lembaga pendidikan sesudah madrasah.[1]
Madrasah secara etimologi merupakan isim makan dari kata “darasa” yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi peserta didik (umat Islam) atau bangunan tempat pendidikan atau proses belajar mengajar secara formal dan klasikal.[2]  Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah yang melalui tiga tahapan yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan,[3] dan tahap madrasah. Sedangkan fenomena madrasah mulai menonjol sejak awal abad 11 -12 M, atau abad 5 H, tepatnya ketika wazir Bani Saljuk, Nizam al-Mulk mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.[4]
Berbicara tentang madrasah, maka dalam tulisan ini penulis memfokuskan kajian pada Madrasah Nizhamiyah, meliputi:
1.      Letak geografis  dan motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah
2.      Sistem pendidikan Madrasah Nizhamiyah
3.      Pengaruh Madrasah Nizhamiyah terhadap masyarakat.

A.    Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Madrasah  di Dunia Islam
Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah. Mengenai transformasi masjid ke madrasah, ada beberapa pendapat yang menjelaskan hal tersebut, antara lain: Menurut pendapat George Makdisi yang dikutip oleh Suwito, Ainurrafiq Dawan, dan Ahmad Ta’arifin dalam bukunya berjudul “Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren”, bahwa  madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga tahap, yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan,[5] dan tahap madrasah. Sedangkan menurut pendapat Ahmad Amin Syalabi yang dikutip Suwito, bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung.[6]
Mengenai kajian tentang awal munculnya madrasah di dunia Islam, ada beberapa pendapat para ahli dalam menguraikan hal tersebut, di antaranya: Syalabi dan Philip K. Hitti mengatakan bahwa madrasah yang mula- mula muncul dii dunia Islam adalah madrasah Nizhamiyah[7] yang didirikan oleh Nizham al-Mulk[8], perdana menteri Dinasti Saljuk[9] pada tahun pada abad ke-5 H atau abad ke-11M, tepatnya diresmikan pada tahun 459 H atau 1067 M.[10] Pendapat ini didasarkan adanya popularitas Nizhamiyah  yang sering disebut- sebut dalam buku sejarah dan namanya sangat terkenal dalam sejarah Islam, serta begitu dominan juga peran Nizham al-Mulk pada saat itu, sehingga mendorong adanya kesimpulan bahwa Nizham al-Mulk orang pertama yang membangun madrasah. Sedangkan menurut Athiah al-Abrasyi, bahwa madrasah al-Baihaqiyah adalah madrasah yang pertama didirikan pada akhir abad ke-4 H. Begitupula berdasarkan hasil penelitian Richard W. Bulliet bahwa dua abad sebelum Madrasah Nizamiyah muncul, di Nisapur sudah berdiri madrasah, yaitu madrasah Miyah Dahiyah. Namun, kedua madarasah tersebut kurang dikenal karena mengingat motivasi pendiriannya bersifat ahliyah (keluarga).[11]
Meskipun beberapa pendapat para ahli menolak bahwa madrasah Nizhamiyah bukanlah madrasah yang pertama didirikan, akan tetapi ia merupakan madarasah yang sangat populer di kalangan masyarakat Islam dan non Islam, hal ini disebabkan Nizhamiyah merupakan  sistem madrasah pertama khusus didirikan oleh negara dan Sunni. Pemerintah terlibat dalam menentukan tujuan- tujuan madrasah, kurikulum, dan memilih guru, serta pemerintah memberikan dana kepada madrasah. Selain itu, Nizhamiyah memiliki spirit ilmu pengetahuan yang tinggi, baik untuk tujuan politik maupun agama.
Adapun latarbelakang berdirinya Madrasah selain termotivasi oleh faktor agama dan ekonomi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga termotivasi oleh aspek politik.[12] Seperti halnya, latar belakang lahirnya Madrasah Nizamiyah yang paling mendasar adalah adanya perseteruan antara kelompok Sunni, Dinasti Saljuk dengan kelompok Syi’ah, Dinasti Fatimiyah di Mesir. Dinasti Saljuk berkeyakinan bahwa idiologi harus dibalas dengan idiologi. Dari sinilah, maka Nizhamiyah merupakan senjata atau alat untuk menanamkan doktrin- doktrin Sunni sebagai perlawanan paham Syi’ah.[13]

B.     Karakteristik Madrasah
Antara madrasah dan lembaga- lembaga pendidikan sebelumnya mempunyai perbedaan. Lembaga- lembaga pendidikan sebelum madrasah tidak diatur secara administratif. Guru dan murid mempunyai kebebasan dalam melaksanakan proses pembeajaran. Berbeda dengan madrasah, lembaga pendidikan ini diatur secara administratif, sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang yang ditetapkan oleh pengelola madrasah.
Berdasarkan pendapat Philip K. Hitti yang dikutip oleh Hanun Asrohah dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Pendidikan Islam”, bahwa mengenai tingkatan madrasah Hitti menggolongkan ke dalam institution of higher education, setara dengan akademik.
Madrasah didirikan dibeberapa wilayah Islam untuk mendalami bidang studi Fiqih. Seperti halnya, Madrasah di Nisapur didirikan oleh ulama Fiqih untuk mengembangkan madzhabnya, Madrasah Nizhamiyah juga didirikan dengan menjadikan Fiqih dan Hadist sebagai materi yang lebih dominan untuk dipelajari. Karena adanya materi yang dominan diajarkan di madarasah adalah bidang Fiqih, maka George Makdisi memberi nama madrasah sebagai college of law.[14]

C.     Tradisi Keilmuan Madrasah
Dalam kajian sejarah telah teruraikan bahwa persoalan yang timbul segera setelah wafatnya Rasulullah adalah persoalan polotik. Berangkat dari persoalan politik tersebut kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Maka dapat disimpulkan bahwa pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik.
Adanya latarbelakang sejarah yang sedemikian rupa ternyata juga sangat berpengaruh pada perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa- masa selanjutnya. Dalam hal ini, dominasi kepentingan politik dan pemikiran telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan dalam suatu lembaga pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai sarana pergumulan bidang politik dan pemikiran. Seperti halnya terlihat dalam tujuan didirikannya Madrasah Nizhamiyah, yaitu: Pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah. Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan madzahab Sunni dan menyebarkan ke tempat- tempat lain. Ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
Selain tujuan didirikan Madrasah Nizhamiyah yang dapat dijadikan bukti bahwa perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh pergumulan politik dan pemikiran, ada beberapa bukti lain, yaitu adanya pembagian pola- pola pendidikan Islam yang didasarkan atas aliran pemikiran dalam Islam. Misalnya, Madrasah al-Fuqaha> wa al- Muh{addithi>n, Madrasah al-Mu’tazilah, al-Madrasah al-Fiqhiyyat  dan sebagainya.
 Melalui kajian yang lebih dalam, tradisi keilmuan di madrasah dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: transformasi madrasah, aliran keagamaan, dan politik pemerintahan.[15]
            1.      Transformasi Madrasah
Sebagaimana yang terparikan di atas, bahwa madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah. Adanya proses transformasi tersebut, maka terjadilah perubahan- perubahan dalam berbagai aspek. Seperti halnya perubahan secara fisik, perubahan administrasi dan managemen dan perubahan yang lainnya.
Jika dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuannya, terdapat indikasi bahwa transformasi struktur itu tidak diikuti transformasi substansi keilmuan yang berarti. Dari sisi keilmuan, ilmu- ilmu yang diajarkan di madrasah merupakan kelanjutan dari keilmuan yang diajarkan di masjid.
Kegiatan pendidikan di masjid pada awalnya diajarkan hal- hal yang berhubungan dengan masalah agama atau al-ulu>m al-diniyat dan al-ulu>m al-lisa>niyat. Kemudian mencakup juga al-‘ulu>m al-ajnabiyyat, akan tetapi masih bersifat minor. Sedangkan Ilmu Bumi, Matematika, Mantiq, Filsafat dan al-ti>b hanya diajarkan dibeberapa masjid tertentu. Untuk al-ulu>m al-aqliyat juga diajarkan hanya sebatas hal- hal yang berkaitan dengan fiqih, seperti tentang Ilmu Falaq.
            2.      Aspek Aliran Keagamaan.
Akhir abad ke- 4 atau awal abad ke- 5 H, pada waktu timbulnya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat muslim dapat dikatakan telah mencapai tahap sempurna. Dari akhir dinasti Umawi hingga awal dinasti Abbasiyah, hampir seluruh ilmu telah berhasil disusun dan disistematisasikan, baik menyangkut al-‘ulu>m al-naqliyat maupun al-‘ulu>m al-‘aqliyat. Perkembangan keilmuan tersebut seharusnya mewarnai perkembangan ilmu di madrasah pada saat itu, akan tetapi kecenderungan Sunni membatasi kawasan keilmuan madrasah.
Seperti yang telah teruraikan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan Sunni, atau lembaga aliran Fiqih dan Hadits. Aliran ini sejak awal menolak filsafat dan Mantiq Yunani. Ulama’- ulama’ dalam aliran ini membuktikan penolakannya dengan mengarang buku- buku yang berisikan tentang penolakan terhadap filsafat, seperti halnya; al-Ghazali menyusun kitab Taha>fut al- Falasifat  dan lain- lain. Dari sini, maka madrasah Sunni tidak mengajarkan mantiq dan tradisi berfikir filasafat.
Melihat kondisi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa apa yang diajarkan di madrasah masih berkisar pada al-‘ulu>m al-naqliyat dan al-‘ulu>m al-lisa>niyat[16]. Dengan kata lain, madrasah melupakan al-‘ulu>m al-aqliyat.
Menurut pendapat Atiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Maksum dalam bukunya yang berjudul “Madrasah: Sejarah & Perkembangannya, bahwa “madrasah memberikan perhatian terhadap pengajaran Agama Islam, Fiqih empat madzhab, Tauhid, Bahasa Arab, menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memperkuat madzhab ahlusunnah dan menentang Syi’ah.
Jika dilihat dari perkembangannya, sebetulnya madrasah relatif mengandung ajaran rasional, jika dibandingkan dari sistem pendidikan aliran Fiqih dan Hadist pada masa sebulumnya. Pada abad ketiga ahli Fiqh dan ahli Hadist masih satu sikap, yaitu bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, kepada sahabat dan tabi’in. Pada fase kedua, memasuki abad keempat, telah timbul perbedaan antara keduanya., berkaitan dengan timbulnya keempat madzhab fiqih dan keterkaitan mereka terhadap produk- produk dan metode madzhabnya. Dengan adanya paradigma seperti itu, maka kecaman dari ahli hadist mulai menggelora, dan mereka mengeklaim bahwa ahli fiqih telah mengambil jalan rasional dengan menerapkan ta’wil dan qiyas.
Selain dari segi di atas, tradisi rasionalitas madrasah juga terlihat dengan diajarkannya Kalam ke dalam madrasah, khususnya Kalam Asy’ariyah, seperti pada Madrasah Nizamiyah. Akan tetapi, meskipun beberapa tradisi rasionalitas telaah daiterapkan di madrasah, hal itu kurang mampu mendorong atau mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
 Berkaitan dengan aspek keagamaan, metode yang digunakan dalam menyampaikan berbagai macam keilmuan yaitu sebatas menggunakan metode iqra’ dan imla’.
Menurut Al-Mustanshir bi Allah yang dikutip Maksum dalam bukunya yang berjudul Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, bahwa untuk menutupi kelemahan- kelemahan Madrasah Nizhamiyah, maka Al-Mustanshir bi Allah pada tahun 1233- 1234 M mendirikan madrasah baru, yang disebut al-Mustansiriyah. Madrasah ini memberikan pelayanan yang berbeda dengan Madrasah Nizamiyah. Madrasah al-Mustansiriyah menyediakan fasilitas yang serupa kepada tiga madzhab ahli sunnah. Dengan ini diharapkan akan terjadi persaingan baru dan keseimbangan diantara madzhab- madzhab Sunni. Akan tetapi, usaha al-Mustanshir juga kurang berpengaruh terhadap tradisi keilmuan pada saat itu. Selain usaha tersebut, al-Mustanshir juga memberikan perhatian pada ilmu kedokteran, akan tetapi hanya mengajarkan di madrasah khusus, al-Bimaristan. Akn tetapi usaha yang kedua ini tidak berkaitan dengan madrasah, karena merupakan lembaga tersendiri.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tradisi keilmua madrasah jika dilihat dari segi aspek keagamaan dipengaruhi oleh golongan- golongan yang ingin mengedepankan kepentingan untuk memajukan golongan mereka sendiri, dari sini maka tradisi keilmuan disesuaikan dengan tujuan golongan tersebut.
            3.      Aspek Politik Pemerintahan
Madrasah merupakan babak baru dalam pendidikan Islam, karena pemerintah telah ikut berkecimpung di dalamnya. Keterlibatan pemerintah ke dalam madrasah sangat erta kaitannya dengan tujuan pemerintah, dari situ maka madrasah merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan- tujuannya.
Dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam Madrasah Nizhamiyah telah mengarahkan madrasah utuk mengajarkan materi yang mendukung pada satu madzhab dari empat madzhab. Pengaruh lain dari keterlibatan pemerintah terhadap tradisi keilmuan madrasah yaitu pada paengajaran Hadist. Pilihan terhadap pengajaran Hadist merupakan kiat untuk menghidupkan ajaran Sunni dan melawan Syi’ah.  Pada masalah ini, pemerintah mengarahkan sumber- sumber dan materi- materi hadist yang harus diajarkan. Adapun Hadist yang mendapat perhatian untuk diajarkan adalah yang berkaitan dengan kepahlawanan dan jihad.
Dengan adanya campur tangan pemerintah dalam memilih materi yang akan diajarkan, maka hal ini juga mempengaruhi pemilihan teknik pengajaran yang harus digunakan dalam pembelajaran. Adapun teknik pengajaran yang mendapat perhatian pada saat itu adalah teknik pengajaran yang bersifat indoktrinasi yang bersifat tertutup dan tidak memberikan kebebasan berpikir kepada peserta didik. Jika melihat kondisi seperti ini, maka pendidikan madrasah merupakan suatu kemunduran dibanding di masjid.
Pengaruh adanya keterlibatan penguasa dalam madrasah juga mempengaruhi pemilihan metode. Pada saat itu, para guru diperintahkan untuk tidak mengajarkan karya- karyanya sendiri, mereka cukup mengajarkan ucapan- ucapan para pendahulunya. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk mengambil berkah para pendahulu dan dalam rangka penghormatan padanya. Adanya kondisi seperti itu, maka proses belajar mengajar sebatas pada membaca, menghafal dan mengulangi ucapan- ucapan orang- orang sebelumnya.
Selain al-‘ulu>m al-naqliyah dan al-‘ulu>m lisa>niyah, yang pada dasarnya terorientasin pada Fiqih dan Kalam, madrasah juga terimbas dengan ajaran tasawuf. Hal ini khususnya setelah al-Ghazali berhasil memfoemulasikan tawasuf dengan syari’at. Namun, tasawuf yang diajarkan pada saat iru adalah tasawuf akhlaqi, bukan falsafi. Namun demikian, perhatian yang istimewa terhadap tasawuf juga tidak terlepas dari maksud politik, terutama untuk menandingi ucapan- ucapan ritual kaum Syi’ah dalam Dinasti Fatimiyah di mesir.[17]

D.    Pengaruh Madrasah
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada masa klasik mempunyai pengaruh yang cukup monumental dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Sebagaimana menurut pernyataan al-Dailami dikutip oleh Maksum, Abd Ghani Abud yang menyatakan bahwa: “pendirian universitas- universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi  dan pengaruh madrasah (Nizhamiyha). Selain hal tersebut, menurut pendapat George Makdisi yang dinukil juga oleh Maksum, bahwa tradisi akdemik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah.[18]  
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh bagi awal perkembangan madrasah adalah: Pertama, adanya perhatian dan peran aktif para penguasa.[19] Kedua, perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya.[20] Dengan adanya elemen- elemen yang manaruh perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut, maka madrasah tumbuh dan berkembang secara luas diberbagai wilayah, serta ide- ide madrasah tetap eksis sampat di era modern.[21]



KESIMPULAN
1.    Dalam menentukan sejarah berdirinya madrasah beberapa ahli memiliki perbedaan pendapat, diantaranya ada yang menguraikan bahwa madrasah berdiri melalui proses tidak langsung dan ada yang berpendapat bahwa madrasah berdiri melalui proses secara langsung. Begitu pula dalam menentukan madrasah yang pertama kali muncul dalam khazanah keilmuan Islam juga terjadi perbedaan pendapat diantara para ahli sejarawan, akan tetapi dari beberapa pendapat tersebut yang paling menonjol menguraikan bahwa madrasah pertama kali yang berdiri yaitu Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.
2.  Karakteristik madrasah yang membedakan antara lembaga- lembaga pendidikan sebelum madrasah dengan madrasah yaitu dapat dilihat dari segi pengelolaan administratif madrasah.
3.  Untuk menentukan tradisi keilmuan dalam madrasah dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu: aspek transformasi madrasah, aspek keagamaan, dan aspek politik pemerintahan.
4.     Madrasah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan keilmuan selanjutnya, salah satunya yaitu madrasah mampu memberikan aspirasi dan idenya terhadap perkembangan keilmuan di Barat.


[1] Ahmad Syalabi, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kassyaf, 1954), 55- 59.
[2] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic. ed. J Milton Cowan, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1980), 278; 
Atabik Lutfi, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak Yogyakarta, 1997), 891; Idris Thaha, al-Madrasah dalam Ensiklopedi Islam, Vol. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 205.
[3]Khan mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai penyimpanan barang- barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko.  Khan juga dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan untuk kebutuhan umum. Selain kedua fungsi tersebut, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid- murid dari luar kota yang hendak menimba ilmu di suatu masjid. Lihat: Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 64.
[4]Hisham Nashabe, Muslim Education Institutions (Beirut: Librairie Du Liban, 1989), 22.
[5]Khan mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai penyimpananbarang- barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko.  Khan juga dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan untuk kebutuhan umum. Misalnya, khan al-Narsi yang berada di alun- alun Karkh di Baghdad bagian Barat.  Selain kedua fungsi tersebut, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid- murid dari luar kota yang hendak menimba ilmu di suatu masjid. Lihat: Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 64.
[6]Pendapat  Georgi Makdasi didasarkan bahwa pada saat itu banyaknya murid yang datang dari luar kota untuk belajar di masjid- masjid, dan hal itu menuntut  pembangunan pemondokan atau asrama  di sekitar  masjid. Dari situ maka terjadi transformasi masjid menjadi masjid khan. Tahap berikutnya,  masjid khan berubah menjadi madrasah yang selain dilengkapi dengan pemondokan dan juga dilengkapi aula besar yang berfungsi sebagi tempat diselenggarakannya prosese pembelajaran. Sedangkan pendapat Ahmad Amin Syalabi didasarkan bahwa pada saat  itu semakin ramainya kegiatan yang dilaksanakan  di masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah (dalam arti sempit), namun juga kegiatan pendidikan dan yang lainnya, maka dari situlah masjid secara langsung berubah menjadi madrasah. Lihat: Suwito, et al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005),  214- 215; Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan, 99- 100; Ainurrafiq Dawan, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren (Jakarta: Listafarika putra, 200), 31- 33.
[7]Madrasah Nizammiyah berada di Baghdad terletak di dekat Sungai Dijlah di tengah- tengah Pasar Salasah. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M dan selesai pada tahun 459 H, dengan arsiteknya yang bernama Abu Sa’id al-Shafi.Lihat: Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 61-62; Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), 77.
[8]Nama aslinya adalah Abu Ali  al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Thusi. Dia pernah belajar di Nisapur  dan berguru pada ulama’ Mazhab Syafi’i, Habatullah al-Muwaffaq. Ayahnya seorang pegawai pemerintah Gaznawi di Thus, Khurasan.. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah, ayahnya membawa Nizam al-Muluk lari ke Khusrawjird dan seterusnya ke Gazna. Di sana Nizam al-Muluk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Gaznawi. Empat tahun kemudian, ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah kekuasaan salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai oleh saljikah (432 H/ 1040/ 1041 M). Kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Alp Arslan dengan Perdana Menteri Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika ia meninggal dunia, Nizam al-Muluk ditunjuk oleh sultan sebagai perdana menteri.
[9]Dinasti Saljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun Suku Qiniq dalam masyarakat Turki Oquz. Ia mengabdikan diri kepada Raja Begu (daerah turkaman) yang meliputi Laut Arab dan Laut Kaspiah. Saljuk kaum yang memerdekakan diri dari Dinasti Samiah. Setelah Saljuk meninggal, kekuasaannya dilanjutkan oleh Thurgul Bek, ia berhasil mengalahkan Dinasti Ghaznawi (429 H/1036 M). Kemudian ia memproklamirkan berdirinya Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Khalifah Abbasyiah di Baghdad. Bani Saljuk memasuki Baghdad pada Masa thurgul yang menggantikan Bani Buwaihi. Lihat: Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 158- 159.
[10]Abdul Rahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 11; : Suwito, et al, Sejarah, 215: Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 160.
[11]Hanun Asrohah, Sejarah ,100; Abudin Nata, Sejarah,53.
[12]Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 63.
[13] Suwito, et al, Sejarah, 217- 218.
[14] Hanun Asrohah, Sejarah, 101- 102.
[15] Dalam hal transformasi, tradisi keilmuan madrasah dapat dilihat sejauhmana madrasah mempertahankan elemen pendidikan masjid di satu pihak dan menembahkan elemen- elemen baru di pihak lain. Sedangkan dalam aliran keagamaan, kajian ini akan memperlihatkan bagaimana madrasah dipengaruhi oleh perkembangan sekte- sekte pemikiran keagamaan yang berkembang. Adapun dalam hal kecenderungan politik pemerintahan, perhatian tradisi keilmuan akan dapat dijelaskan bagaimana kepentingan politik dapat menentukan pola kajian yang dikembangkan di madrasah. Lihat: Ibid,. 66.
[16] Al-‘Ulum al-Naqliyat  adalah ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti: Tafsir, Qira’at, Hadits, dan Usul Fiqhi. al-‘Ulum al-Lisa>niyat meliputi ilmu- ilmu bahasa dan sastra.  Sedangkan al-‘Ulum al-aqliyat meliputi Filsafat, Mantiq, Falsafat dan Kalam.
[17]Maksum, Madrasa, 66- 75.74
[18] Ibid., 75.
[19] Diantara beberapa para penguasan seperti: Nizham al-Mulk (456- 485 H/ 1063 M), Nur al-din Zanky (541- 569 H/ 1146- 1174 M), Shalahuddin al-Ayyubi (564- 589 H/ 1169- 1193 M), dan Mutansir billah (623- 640 H/ 1226- 1242 M)
[20] Ainurrafiq Dawan, Ahmad Ta’arifin, Manajemen, 32.