5 November 2011

LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM (Studi Tentang Madrasah Nizhamiyah)

(Uswatun Chasanah, Disampaikan pada seminar perkuliahan di  
Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tanggal 11 Januari 2011)

Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat umum, seperti masjid, terdapat lembaga- lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Adapun lembaga- lembaga tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah: al-Kuttab, al-Qushur, Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Majlis dan Madrasah. Berdasarkan macam- macam lembaga tersebut, Ahmad Syalabi membagi institusi pendidikan Islam menjadi dua kelompok, yaitu kelompok lembaga pendidikan sebelum madrasah dan kelompok lembaga pendidikan sesudah madrasah.[1]
Madrasah secara etimologi merupakan isim makan dari kata “darasa” yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat belajar bagi peserta didik (umat Islam) atau bangunan tempat pendidikan atau proses belajar mengajar secara formal dan klasikal.[2]  Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah yang melalui tiga tahapan yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan,[3] dan tahap madrasah. Sedangkan fenomena madrasah mulai menonjol sejak awal abad 11 -12 M, atau abad 5 H, tepatnya ketika wazir Bani Saljuk, Nizam al-Mulk mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.[4]
Berbicara tentang madrasah, maka dalam tulisan ini penulis memfokuskan kajian pada Madrasah Nizhamiyah, meliputi:
1.      Letak geografis  dan motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah
2.      Sistem pendidikan Madrasah Nizhamiyah
3.      Pengaruh Madrasah Nizhamiyah terhadap masyarakat.

A.    Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Madrasah  di Dunia Islam
Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah. Mengenai transformasi masjid ke madrasah, ada beberapa pendapat yang menjelaskan hal tersebut, antara lain: Menurut pendapat George Makdisi yang dikutip oleh Suwito, Ainurrafiq Dawan, dan Ahmad Ta’arifin dalam bukunya berjudul “Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren”, bahwa  madrasah merupakan transformasi institusi pendidikan Islam dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga tahap, yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan,[5] dan tahap madrasah. Sedangkan menurut pendapat Ahmad Amin Syalabi yang dikutip Suwito, bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung.[6]
Mengenai kajian tentang awal munculnya madrasah di dunia Islam, ada beberapa pendapat para ahli dalam menguraikan hal tersebut, di antaranya: Syalabi dan Philip K. Hitti mengatakan bahwa madrasah yang mula- mula muncul dii dunia Islam adalah madrasah Nizhamiyah[7] yang didirikan oleh Nizham al-Mulk[8], perdana menteri Dinasti Saljuk[9] pada tahun pada abad ke-5 H atau abad ke-11M, tepatnya diresmikan pada tahun 459 H atau 1067 M.[10] Pendapat ini didasarkan adanya popularitas Nizhamiyah  yang sering disebut- sebut dalam buku sejarah dan namanya sangat terkenal dalam sejarah Islam, serta begitu dominan juga peran Nizham al-Mulk pada saat itu, sehingga mendorong adanya kesimpulan bahwa Nizham al-Mulk orang pertama yang membangun madrasah. Sedangkan menurut Athiah al-Abrasyi, bahwa madrasah al-Baihaqiyah adalah madrasah yang pertama didirikan pada akhir abad ke-4 H. Begitupula berdasarkan hasil penelitian Richard W. Bulliet bahwa dua abad sebelum Madrasah Nizamiyah muncul, di Nisapur sudah berdiri madrasah, yaitu madrasah Miyah Dahiyah. Namun, kedua madarasah tersebut kurang dikenal karena mengingat motivasi pendiriannya bersifat ahliyah (keluarga).[11]
Meskipun beberapa pendapat para ahli menolak bahwa madrasah Nizhamiyah bukanlah madrasah yang pertama didirikan, akan tetapi ia merupakan madarasah yang sangat populer di kalangan masyarakat Islam dan non Islam, hal ini disebabkan Nizhamiyah merupakan  sistem madrasah pertama khusus didirikan oleh negara dan Sunni. Pemerintah terlibat dalam menentukan tujuan- tujuan madrasah, kurikulum, dan memilih guru, serta pemerintah memberikan dana kepada madrasah. Selain itu, Nizhamiyah memiliki spirit ilmu pengetahuan yang tinggi, baik untuk tujuan politik maupun agama.
Adapun latarbelakang berdirinya Madrasah selain termotivasi oleh faktor agama dan ekonomi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga termotivasi oleh aspek politik.[12] Seperti halnya, latar belakang lahirnya Madrasah Nizamiyah yang paling mendasar adalah adanya perseteruan antara kelompok Sunni, Dinasti Saljuk dengan kelompok Syi’ah, Dinasti Fatimiyah di Mesir. Dinasti Saljuk berkeyakinan bahwa idiologi harus dibalas dengan idiologi. Dari sinilah, maka Nizhamiyah merupakan senjata atau alat untuk menanamkan doktrin- doktrin Sunni sebagai perlawanan paham Syi’ah.[13]

B.     Karakteristik Madrasah
Antara madrasah dan lembaga- lembaga pendidikan sebelumnya mempunyai perbedaan. Lembaga- lembaga pendidikan sebelum madrasah tidak diatur secara administratif. Guru dan murid mempunyai kebebasan dalam melaksanakan proses pembeajaran. Berbeda dengan madrasah, lembaga pendidikan ini diatur secara administratif, sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti aturan yang yang ditetapkan oleh pengelola madrasah.
Berdasarkan pendapat Philip K. Hitti yang dikutip oleh Hanun Asrohah dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Pendidikan Islam”, bahwa mengenai tingkatan madrasah Hitti menggolongkan ke dalam institution of higher education, setara dengan akademik.
Madrasah didirikan dibeberapa wilayah Islam untuk mendalami bidang studi Fiqih. Seperti halnya, Madrasah di Nisapur didirikan oleh ulama Fiqih untuk mengembangkan madzhabnya, Madrasah Nizhamiyah juga didirikan dengan menjadikan Fiqih dan Hadist sebagai materi yang lebih dominan untuk dipelajari. Karena adanya materi yang dominan diajarkan di madarasah adalah bidang Fiqih, maka George Makdisi memberi nama madrasah sebagai college of law.[14]

C.     Tradisi Keilmuan Madrasah
Dalam kajian sejarah telah teruraikan bahwa persoalan yang timbul segera setelah wafatnya Rasulullah adalah persoalan polotik. Berangkat dari persoalan politik tersebut kemudian berkembang menjadi persoalan teologi. Maka dapat disimpulkan bahwa pendorong perkembangan pemikiran dalam Islam adalah masalah politik.
Adanya latarbelakang sejarah yang sedemikian rupa ternyata juga sangat berpengaruh pada perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam Islam pada masa- masa selanjutnya. Dalam hal ini, dominasi kepentingan politik dan pemikiran telah menentukan bentuk pendidikan dan corak ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan dalam suatu lembaga pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai sarana pergumulan bidang politik dan pemikiran. Seperti halnya terlihat dalam tujuan didirikannya Madrasah Nizhamiyah, yaitu: Pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi tantangan pemikiran Syi’ah. Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk mengajarkan madzahab Sunni dan menyebarkan ke tempat- tempat lain. Ketiga, membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
Selain tujuan didirikan Madrasah Nizhamiyah yang dapat dijadikan bukti bahwa perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi oleh pergumulan politik dan pemikiran, ada beberapa bukti lain, yaitu adanya pembagian pola- pola pendidikan Islam yang didasarkan atas aliran pemikiran dalam Islam. Misalnya, Madrasah al-Fuqaha> wa al- Muh{addithi>n, Madrasah al-Mu’tazilah, al-Madrasah al-Fiqhiyyat  dan sebagainya.
 Melalui kajian yang lebih dalam, tradisi keilmuan di madrasah dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: transformasi madrasah, aliran keagamaan, dan politik pemerintahan.[15]
            1.      Transformasi Madrasah
Sebagaimana yang terparikan di atas, bahwa madrasah merupakan transformasi dari masjid ke madrasah. Adanya proses transformasi tersebut, maka terjadilah perubahan- perubahan dalam berbagai aspek. Seperti halnya perubahan secara fisik, perubahan administrasi dan managemen dan perubahan yang lainnya.
Jika dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuannya, terdapat indikasi bahwa transformasi struktur itu tidak diikuti transformasi substansi keilmuan yang berarti. Dari sisi keilmuan, ilmu- ilmu yang diajarkan di madrasah merupakan kelanjutan dari keilmuan yang diajarkan di masjid.
Kegiatan pendidikan di masjid pada awalnya diajarkan hal- hal yang berhubungan dengan masalah agama atau al-ulu>m al-diniyat dan al-ulu>m al-lisa>niyat. Kemudian mencakup juga al-‘ulu>m al-ajnabiyyat, akan tetapi masih bersifat minor. Sedangkan Ilmu Bumi, Matematika, Mantiq, Filsafat dan al-ti>b hanya diajarkan dibeberapa masjid tertentu. Untuk al-ulu>m al-aqliyat juga diajarkan hanya sebatas hal- hal yang berkaitan dengan fiqih, seperti tentang Ilmu Falaq.
            2.      Aspek Aliran Keagamaan.
Akhir abad ke- 4 atau awal abad ke- 5 H, pada waktu timbulnya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat muslim dapat dikatakan telah mencapai tahap sempurna. Dari akhir dinasti Umawi hingga awal dinasti Abbasiyah, hampir seluruh ilmu telah berhasil disusun dan disistematisasikan, baik menyangkut al-‘ulu>m al-naqliyat maupun al-‘ulu>m al-‘aqliyat. Perkembangan keilmuan tersebut seharusnya mewarnai perkembangan ilmu di madrasah pada saat itu, akan tetapi kecenderungan Sunni membatasi kawasan keilmuan madrasah.
Seperti yang telah teruraikan bahwa madrasah merupakan lembaga pendidikan Sunni, atau lembaga aliran Fiqih dan Hadits. Aliran ini sejak awal menolak filsafat dan Mantiq Yunani. Ulama’- ulama’ dalam aliran ini membuktikan penolakannya dengan mengarang buku- buku yang berisikan tentang penolakan terhadap filsafat, seperti halnya; al-Ghazali menyusun kitab Taha>fut al- Falasifat  dan lain- lain. Dari sini, maka madrasah Sunni tidak mengajarkan mantiq dan tradisi berfikir filasafat.
Melihat kondisi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa apa yang diajarkan di madrasah masih berkisar pada al-‘ulu>m al-naqliyat dan al-‘ulu>m al-lisa>niyat[16]. Dengan kata lain, madrasah melupakan al-‘ulu>m al-aqliyat.
Menurut pendapat Atiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh Maksum dalam bukunya yang berjudul “Madrasah: Sejarah & Perkembangannya, bahwa “madrasah memberikan perhatian terhadap pengajaran Agama Islam, Fiqih empat madzhab, Tauhid, Bahasa Arab, menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memperkuat madzhab ahlusunnah dan menentang Syi’ah.
Jika dilihat dari perkembangannya, sebetulnya madrasah relatif mengandung ajaran rasional, jika dibandingkan dari sistem pendidikan aliran Fiqih dan Hadist pada masa sebulumnya. Pada abad ketiga ahli Fiqh dan ahli Hadist masih satu sikap, yaitu bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah, kepada sahabat dan tabi’in. Pada fase kedua, memasuki abad keempat, telah timbul perbedaan antara keduanya., berkaitan dengan timbulnya keempat madzhab fiqih dan keterkaitan mereka terhadap produk- produk dan metode madzhabnya. Dengan adanya paradigma seperti itu, maka kecaman dari ahli hadist mulai menggelora, dan mereka mengeklaim bahwa ahli fiqih telah mengambil jalan rasional dengan menerapkan ta’wil dan qiyas.
Selain dari segi di atas, tradisi rasionalitas madrasah juga terlihat dengan diajarkannya Kalam ke dalam madrasah, khususnya Kalam Asy’ariyah, seperti pada Madrasah Nizamiyah. Akan tetapi, meskipun beberapa tradisi rasionalitas telaah daiterapkan di madrasah, hal itu kurang mampu mendorong atau mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
 Berkaitan dengan aspek keagamaan, metode yang digunakan dalam menyampaikan berbagai macam keilmuan yaitu sebatas menggunakan metode iqra’ dan imla’.
Menurut Al-Mustanshir bi Allah yang dikutip Maksum dalam bukunya yang berjudul Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, bahwa untuk menutupi kelemahan- kelemahan Madrasah Nizhamiyah, maka Al-Mustanshir bi Allah pada tahun 1233- 1234 M mendirikan madrasah baru, yang disebut al-Mustansiriyah. Madrasah ini memberikan pelayanan yang berbeda dengan Madrasah Nizamiyah. Madrasah al-Mustansiriyah menyediakan fasilitas yang serupa kepada tiga madzhab ahli sunnah. Dengan ini diharapkan akan terjadi persaingan baru dan keseimbangan diantara madzhab- madzhab Sunni. Akan tetapi, usaha al-Mustanshir juga kurang berpengaruh terhadap tradisi keilmuan pada saat itu. Selain usaha tersebut, al-Mustanshir juga memberikan perhatian pada ilmu kedokteran, akan tetapi hanya mengajarkan di madrasah khusus, al-Bimaristan. Akn tetapi usaha yang kedua ini tidak berkaitan dengan madrasah, karena merupakan lembaga tersendiri.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tradisi keilmua madrasah jika dilihat dari segi aspek keagamaan dipengaruhi oleh golongan- golongan yang ingin mengedepankan kepentingan untuk memajukan golongan mereka sendiri, dari sini maka tradisi keilmuan disesuaikan dengan tujuan golongan tersebut.
            3.      Aspek Politik Pemerintahan
Madrasah merupakan babak baru dalam pendidikan Islam, karena pemerintah telah ikut berkecimpung di dalamnya. Keterlibatan pemerintah ke dalam madrasah sangat erta kaitannya dengan tujuan pemerintah, dari situ maka madrasah merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan- tujuannya.
Dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam Madrasah Nizhamiyah telah mengarahkan madrasah utuk mengajarkan materi yang mendukung pada satu madzhab dari empat madzhab. Pengaruh lain dari keterlibatan pemerintah terhadap tradisi keilmuan madrasah yaitu pada paengajaran Hadist. Pilihan terhadap pengajaran Hadist merupakan kiat untuk menghidupkan ajaran Sunni dan melawan Syi’ah.  Pada masalah ini, pemerintah mengarahkan sumber- sumber dan materi- materi hadist yang harus diajarkan. Adapun Hadist yang mendapat perhatian untuk diajarkan adalah yang berkaitan dengan kepahlawanan dan jihad.
Dengan adanya campur tangan pemerintah dalam memilih materi yang akan diajarkan, maka hal ini juga mempengaruhi pemilihan teknik pengajaran yang harus digunakan dalam pembelajaran. Adapun teknik pengajaran yang mendapat perhatian pada saat itu adalah teknik pengajaran yang bersifat indoktrinasi yang bersifat tertutup dan tidak memberikan kebebasan berpikir kepada peserta didik. Jika melihat kondisi seperti ini, maka pendidikan madrasah merupakan suatu kemunduran dibanding di masjid.
Pengaruh adanya keterlibatan penguasa dalam madrasah juga mempengaruhi pemilihan metode. Pada saat itu, para guru diperintahkan untuk tidak mengajarkan karya- karyanya sendiri, mereka cukup mengajarkan ucapan- ucapan para pendahulunya. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk mengambil berkah para pendahulu dan dalam rangka penghormatan padanya. Adanya kondisi seperti itu, maka proses belajar mengajar sebatas pada membaca, menghafal dan mengulangi ucapan- ucapan orang- orang sebelumnya.
Selain al-‘ulu>m al-naqliyah dan al-‘ulu>m lisa>niyah, yang pada dasarnya terorientasin pada Fiqih dan Kalam, madrasah juga terimbas dengan ajaran tasawuf. Hal ini khususnya setelah al-Ghazali berhasil memfoemulasikan tawasuf dengan syari’at. Namun, tasawuf yang diajarkan pada saat iru adalah tasawuf akhlaqi, bukan falsafi. Namun demikian, perhatian yang istimewa terhadap tasawuf juga tidak terlepas dari maksud politik, terutama untuk menandingi ucapan- ucapan ritual kaum Syi’ah dalam Dinasti Fatimiyah di mesir.[17]

D.    Pengaruh Madrasah
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada masa klasik mempunyai pengaruh yang cukup monumental dalam perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya. Sebagaimana menurut pernyataan al-Dailami dikutip oleh Maksum, Abd Ghani Abud yang menyatakan bahwa: “pendirian universitas- universitas di Barat adalah sebagai hasil inspirasi  dan pengaruh madrasah (Nizhamiyha). Selain hal tersebut, menurut pendapat George Makdisi yang dinukil juga oleh Maksum, bahwa tradisi akdemik Barat secara historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah.[18]  
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh bagi awal perkembangan madrasah adalah: Pertama, adanya perhatian dan peran aktif para penguasa.[19] Kedua, perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat lainnya.[20] Dengan adanya elemen- elemen yang manaruh perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan madrasah tersebut, maka madrasah tumbuh dan berkembang secara luas diberbagai wilayah, serta ide- ide madrasah tetap eksis sampat di era modern.[21]



KESIMPULAN
1.    Dalam menentukan sejarah berdirinya madrasah beberapa ahli memiliki perbedaan pendapat, diantaranya ada yang menguraikan bahwa madrasah berdiri melalui proses tidak langsung dan ada yang berpendapat bahwa madrasah berdiri melalui proses secara langsung. Begitu pula dalam menentukan madrasah yang pertama kali muncul dalam khazanah keilmuan Islam juga terjadi perbedaan pendapat diantara para ahli sejarawan, akan tetapi dari beberapa pendapat tersebut yang paling menonjol menguraikan bahwa madrasah pertama kali yang berdiri yaitu Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.
2.  Karakteristik madrasah yang membedakan antara lembaga- lembaga pendidikan sebelum madrasah dengan madrasah yaitu dapat dilihat dari segi pengelolaan administratif madrasah.
3.  Untuk menentukan tradisi keilmuan dalam madrasah dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu: aspek transformasi madrasah, aspek keagamaan, dan aspek politik pemerintahan.
4.     Madrasah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan keilmuan selanjutnya, salah satunya yaitu madrasah mampu memberikan aspirasi dan idenya terhadap perkembangan keilmuan di Barat.


[1] Ahmad Syalabi, History of Muslim Education (Beirut: Dar al-Kassyaf, 1954), 55- 59.
[2] Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic. ed. J Milton Cowan, (Beirut: Maktabah Lubnan, 1980), 278; 
Atabik Lutfi, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak Yogyakarta, 1997), 891; Idris Thaha, al-Madrasah dalam Ensiklopedi Islam, Vol. 3, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 205.
[3]Khan mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai penyimpanan barang- barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko.  Khan juga dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan untuk kebutuhan umum. Selain kedua fungsi tersebut, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid- murid dari luar kota yang hendak menimba ilmu di suatu masjid. Lihat: Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 64.
[4]Hisham Nashabe, Muslim Education Institutions (Beirut: Librairie Du Liban, 1989), 22.
[5]Khan mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai penyimpananbarang- barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak toko.  Khan juga dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan untuk kebutuhan umum. Misalnya, khan al-Narsi yang berada di alun- alun Karkh di Baghdad bagian Barat.  Selain kedua fungsi tersebut, khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid- murid dari luar kota yang hendak menimba ilmu di suatu masjid. Lihat: Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 64.
[6]Pendapat  Georgi Makdasi didasarkan bahwa pada saat itu banyaknya murid yang datang dari luar kota untuk belajar di masjid- masjid, dan hal itu menuntut  pembangunan pemondokan atau asrama  di sekitar  masjid. Dari situ maka terjadi transformasi masjid menjadi masjid khan. Tahap berikutnya,  masjid khan berubah menjadi madrasah yang selain dilengkapi dengan pemondokan dan juga dilengkapi aula besar yang berfungsi sebagi tempat diselenggarakannya prosese pembelajaran. Sedangkan pendapat Ahmad Amin Syalabi didasarkan bahwa pada saat  itu semakin ramainya kegiatan yang dilaksanakan  di masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah (dalam arti sempit), namun juga kegiatan pendidikan dan yang lainnya, maka dari situlah masjid secara langsung berubah menjadi madrasah. Lihat: Suwito, et al, Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2005),  214- 215; Hanun Asrohah, Sejarah  Pendidikan, 99- 100; Ainurrafiq Dawan, Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren (Jakarta: Listafarika putra, 200), 31- 33.
[7]Madrasah Nizammiyah berada di Baghdad terletak di dekat Sungai Dijlah di tengah- tengah Pasar Salasah. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M dan selesai pada tahun 459 H, dengan arsiteknya yang bernama Abu Sa’id al-Shafi.Lihat: Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 61-62; Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), 77.
[8]Nama aslinya adalah Abu Ali  al-Hasan bin Ali bin Ishaq at-Thusi. Dia pernah belajar di Nisapur  dan berguru pada ulama’ Mazhab Syafi’i, Habatullah al-Muwaffaq. Ayahnya seorang pegawai pemerintah Gaznawi di Thus, Khurasan.. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah, ayahnya membawa Nizam al-Muluk lari ke Khusrawjird dan seterusnya ke Gazna. Di sana Nizam al-Muluk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Gaznawi. Empat tahun kemudian, ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah kekuasaan salajikah. Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai oleh saljikah (432 H/ 1040/ 1041 M). Kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat sehingga ia ditarik ke istana Sultan Alp Arslan dengan Perdana Menteri Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika ia meninggal dunia, Nizam al-Muluk ditunjuk oleh sultan sebagai perdana menteri.
[9]Dinasti Saljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun Suku Qiniq dalam masyarakat Turki Oquz. Ia mengabdikan diri kepada Raja Begu (daerah turkaman) yang meliputi Laut Arab dan Laut Kaspiah. Saljuk kaum yang memerdekakan diri dari Dinasti Samiah. Setelah Saljuk meninggal, kekuasaannya dilanjutkan oleh Thurgul Bek, ia berhasil mengalahkan Dinasti Ghaznawi (429 H/1036 M). Kemudian ia memproklamirkan berdirinya Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Khalifah Abbasyiah di Baghdad. Bani Saljuk memasuki Baghdad pada Masa thurgul yang menggantikan Bani Buwaihi. Lihat: Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana, 2007), 158- 159.
[10]Abdul Rahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 11; : Suwito, et al, Sejarah, 215: Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), 160.
[11]Hanun Asrohah, Sejarah ,100; Abudin Nata, Sejarah,53.
[12]Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 63.
[13] Suwito, et al, Sejarah, 217- 218.
[14] Hanun Asrohah, Sejarah, 101- 102.
[15] Dalam hal transformasi, tradisi keilmuan madrasah dapat dilihat sejauhmana madrasah mempertahankan elemen pendidikan masjid di satu pihak dan menembahkan elemen- elemen baru di pihak lain. Sedangkan dalam aliran keagamaan, kajian ini akan memperlihatkan bagaimana madrasah dipengaruhi oleh perkembangan sekte- sekte pemikiran keagamaan yang berkembang. Adapun dalam hal kecenderungan politik pemerintahan, perhatian tradisi keilmuan akan dapat dijelaskan bagaimana kepentingan politik dapat menentukan pola kajian yang dikembangkan di madrasah. Lihat: Ibid,. 66.
[16] Al-‘Ulum al-Naqliyat  adalah ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti: Tafsir, Qira’at, Hadits, dan Usul Fiqhi. al-‘Ulum al-Lisa>niyat meliputi ilmu- ilmu bahasa dan sastra.  Sedangkan al-‘Ulum al-aqliyat meliputi Filsafat, Mantiq, Falsafat dan Kalam.
[17]Maksum, Madrasa, 66- 75.74
[18] Ibid., 75.
[19] Diantara beberapa para penguasan seperti: Nizham al-Mulk (456- 485 H/ 1063 M), Nur al-din Zanky (541- 569 H/ 1146- 1174 M), Shalahuddin al-Ayyubi (564- 589 H/ 1169- 1193 M), dan Mutansir billah (623- 640 H/ 1226- 1242 M)
[20] Ainurrafiq Dawan, Ahmad Ta’arifin, Manajemen, 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar