11 Januari 2013

PERANG IDEOLOGIS SASTRA KE-ISLAM-AN DI INDONESIA


Karya sastra merupakan karya yang mengandung berbagai macam fungsi. Di dalam karya sastra mengandung nilai-nilai atau ajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Di samping itu, karya sastra juga menggambarkan identitas. Identitas kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat dari corak kebudayaan yang tereflesikan di dalam karya sastra itu. Itu sebabnya karya sastra tidak pernah lepas dari latar belakang kebudayaan yang mendasari lahirnya karya sastra tersebut. Corak karya sastra ini dapat dibedakan karena berbagai hal; bahasa, budaya, politik, kondisi ekonomi, dan yang paling penting adalah keyakinan atau agama. Itu sebabnya peranan pengarang dalam hal ini sangat penting, sebagai subjek yang membuat karya sastra itu.
Di indonesia, karya sastra yang berlatarbelakang keagamaan sebenarnya sudah lama ada. Meskipun karya sastra dengan corak ini timbul tenggelam sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Itu sebabnya, karya sastra dengan corak keyakinan atau keagamaan ini belum bisa mewarnai secara menyeluruh atas nilai-nilai ataupun gagasan yang ada di dalam masyarakat bangsa ini. Setelah Era Reformasi karya sastra bercorak ke-islam-an bermunculan. Adanya reformasi telah memberikan angin segar kepada para penulis muda muslim mengekspresikan pemikiran mereka melalui karya sastra bercorak keagamaan ini. Habiburahman El Sirazy, Golagong, Asma Nadia, Helvy tiana Rosa dan penulis muslim lainnya telah menorehkan pengaruh yang sangat penting bagi kesusastraan di Indonesia.
Era Reformasi memberikan angin segar kepada para penulis di bidang kesusastraan, karena longgarnya pengawasan pemerintah terhadap media massa, termasuk karya sastra. Namun demikian, nampaknya kesempatan ini belum digunakan oleh para sastrawan ataupun kritikus muslim untuk mengembangkan karya sastra di bidang ini secara maksimal. Lahirnya penulis dari kalangan muslim dan menyuarakan keagmaan mungkin sudah mulai timbul kesadaran. Mengingat jumlah penduduk yang mayoritas muslim; para penulis banyak yang berminat mengangkat isu-isu keagamaan ataupun moral yang memakai latar belangakan masyarakat atau tokoh ke-islam-an sebagai media kritiknya. Namun yang disayangkan, justru kritikus di bidang karya sastra islam ini masih sangat minim. Mungkin kita mengenal Gunawan Muhammad, Taufikq Ismail, dan beberapa pengamat sekaligus sastrawan yang berminat mengkritisi atau mengangkat kesusastraaan islam. Tetapi karena jumlah mereka yang masih sangat terbatas, maka gaungnya pun masih kalah dibandingkan dengan mereka yang concern pada karya sastra yang bercorak liberal sekuler.
Di lapangan bisa kita lihat bagaimana popularitas Ayu Utami yang dianggap sebagai pelopor kebebasan bagi perempuan dalam karya sastra. Karya Ayu Utami mengalami lonjakan penjualan yang luar biasa karena penilaian posistif dari para pengamat dan pendukung liberalisme dan sekulerisme. Karya sastra Saman danLarung, karya Ayu utami langsung disambut diberbagai negara sebagai karya monumental yang dapat memberikan alternatif pemikiran bagi wanita modern di Indonesia. Ketenaran Ayu utami tidak lepas dari banyaknya pengamat dan kritikus yang mendukung karya ini. Sehingga karya ini sampai diterjemahkan dalam banyak bahasa.
Sebenarnya secara kualitas, karya sastra bercorak ke-islam-an tidaklah kalah dengan karya-karya sekuler liberal ala Ayu Utami. Baik dari gaya bahasa, muatan isi, apalagi pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra ke-islam-an. Karya Habiburahman Rahman, mungkin bisa menjadi saingan karya Ayu Utami. Namun demikian nyatanya sampai detik ini masih sangat minim pengamat dan kritikus yang mau mengangkat karya-karya besar ini. Kalau pun ada masih terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Demikian juga, penelitian-peneltiian di perguruan tinggi, mahasiswa yang berminat menelaah karya sastra dengan corak keislaman ini masih sangat minim, di perguruan tinggi islam sekalipun. Padahal, jika ditelaah secara ilmiah maupun muatan karya Habiburahman lebih mengena bagi masyarakat Indoneisa. Minimnya kritikus dan lembaga yang bisa mengangkat karya sastra keislaman mengakibatkan karya sastra yang mengandung nilai-nilai keislaman tidak setenar karya yang sifatnya umum.
Karya sastra yang mendasarkan diri pada nilai-nilai keislaman merupakan karya sastra yang memiliki nilai plus. Di samping menghibur pemirsanya, karya sastra ini mengajarkan nilai-nilai keislaman; baik akhlaq, aqidah dan juga ibadah. Cara berbicara, berpakaian dan pergaulan dalam masyarakat memiliki ciri tersendiri. Interaksi yang terefleksikan masing-masing tokoh dalam karya sastra islam menawarkan karakteristik yang lebih santun dan sopan. Di sinilah mengapa beberapa pengamat mengatakan bahwa sastra islam merupakan genre tersendiri *).
Apa itu karya sastra Islam?
Menurut A. Teeuw, dalam Sejarah sastra islam Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Sejak jaman kerajaan negara kita sudah memiliki banyak sastrawan yang mengangkat isu-isu keagamaan sebagai tema dalam karya sastranya. Tema-tema keagamaan sengaja dimasukan dalam karya sastra dengan tujuan berdakwah atau menanamkan nilai-nilai kepada pembacanya. Tema-tema keagamaan dapat dilihat dari karya Sunan Bonang, Yasadipura II, Ranggawarsita III, Raja Ali haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, HAMKA, Amir Hamzah, Chiril Anwar, dll. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra mampu dijadikan sebagai media dakwah yang menyenangkan dan penuh kedamaian.
Gunawan Muhhammad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sastra keagamaan adalah karya sastra yang menitikberatkan pada kehidupan keagamaan sebagai pemecah masalah. Sastra islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran islam; memuji dan mengakat tokoh islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islam; mengkritik pemahaman islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat islam awal atau paling tidak sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip islam.
Kelahiran sastra ke-islam-an membentuk sebuah ciri yang mungkin tidak terdapat di dalam karya sastra bentuk lain. Sebutan sastra islam dapat dipilah lagi dalam berbagai pentuk pertama, sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlaq baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. Kedua, Sastra suluk yaitu, karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf dinama hubungan jiwa telah dekat dengan Tuhan, yaitu Musyahadah, penyaksian terhadap ke-Esaan Allah. Ketiga, sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan yang Transenden. Keempat, sastra profetik yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.
Itulah gambaran singkat tentang karya sastra ke-islam-an di Indonesia. karya sastra ini memiliki berbagai fungsi yang sangat bagus dalam rangka pendidikan karakter bangsa ini. Dengan demikian, keberadaan karya sastra ini sudah saatnya diperhitungkan dan dikembangkan secara maksimal, agar keberadaannya benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada bangsa dan negara ini.Wallahu’alam bishawab

Ditulis oleh Wajiran, S.S., M.A.
Dosen Fakultas Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Pada Opini Kompas, 11 Januari 2013

SILSILAH RAJA-RAJA KERAJAAN SAFAWI DI PERSIA


3 Januari 2013

KURIKULUM "BERPIKIR" 2013



Di banyak negara, saya sering menyaksikan siswa sekolah atau mahasiswa yang aktif berdiskusi dengan guru atau dosennya. Persis seperti yang dulu sering kita lihat dalam iklan margarin pada tahun 1980-an, atau gairah siswa Wellesley College yang kita lihat dalam film Monalisa Smile.

Sewaktu mengajar di University of Illinois, saya kerap berhadapan dengan anak-anak seperti itu. Karena materi yang harus diajarkan begitu banyak, saya menjawab seperti kebiasaan guru di sini. ”Sebentar ya. Biar saya selesaikan dulu.” Namun, anak-anak itu tetap tak mau menurunkan tangannya sebelum dilayani berdiskusi.

Belakangan saya diberi tahu bahwa pendidik yang baik harus cekatan melayani diskusi, bukan meringkas isi buku. Seorang guru besar senior mengingatkan, ”Kami bersusah payah mengubah satu generasi, dari TK hingga SLTA, mengubah kebiasaan siswa yang malas berpikir menjadi aktif mengeksplorasi dengan lebih percaya diri.”

Mengapa tradisi seperti itu tidak terjadi di sini? Bahkan di perguruan tinggi semakin banyak dosen mengeluh bahwa anakanak sekarang tidak gemar membaca sehingga tidak bisa diajak berdiskusi.


Dihafal, bukan dipikir

Anak-anak kita punya tradisi belajar yang sangat berbeda, yang mengakar sejak taman kanak-kanak. Mata ajaran yang dipelajari jauh lebih banyak, tetapi tidak mendalam. Kalau sulit, rumus yang sangat banyak dibuatkan jembatan keledai atau singkatan-singkatan agar mudah dikeluarkan dari otak.


Cara belajar yang demikian berpotensi menghasilkan ”penumpang” ketimbang ”pengemudi”. Karena itu, banyak orang yang lebih senang duduk menunggu, hidup ”menumpang”, ”dituntun”, atau diarahkan ketimbang menjadi pengemudi yang aktif dan dinamis.

Seperti tampak di angkutan umum, penumpang boleh mengantuk, tertidur, terdiam, sibuk sendiri, tak perlu tahu arah jalan, dan praktis kurang berani mengambil risiko. Sementara pengemudi adalah sosok yang sebaliknya. Karena orangtua juga dibesarkan dalam tradisi belajar yang sama, tradisi serupa ada di rumah. Dengan jumlah mata ajaran yang semakin hari semakin banyak, jumlah yang dihafal siswa di sini juga semakin memberatkan.

Perhatikanlah bagaimana siswa berikut ini belajar. Siswa kelas I SD yang ibunya bekerja mengucapkan kalimat ini: ”Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Ayah ke kantor mencari nafkah, ibu merawat anak-anak di rumah.” Anak itu sempat protes karena ibunyalah yang bekerja, tetapi ibu guru menyatakan ”Dihafal saja karena bukunya berkata demikian”. Ibu di rumah berkata serupa: ”Kalau engkau mau naik kelas, dihafal saja.”

Daya kritis tidak diberi ruang, pertanyaan-pertanyaan penting yang diperlukan manusia untuk bernalar dimatikan sedari muda. Sementara mata ajar kesenian yang diadakan untuk merangsang daya kreasi juga distandarkan dan dihafal. Seperti yang dialami anak-anak yang menggambar pemandangan: gunung dua berjajar, matahari di tengah, dan seterusnya.

Hafalan diperlukan untuk mengikuti ujian nasional dan agar diterima di perguruan tinggi atau menjadi pegawai negeri sipil. Bahkan untuk diterima di jurusan seni rupa sebuah perguruan tinggi negeri terkenal, ujian masuknya juga ujian menghafal, bukan portofolio karyakarya calon mahasiswa.

Demikianlah penumpang, sekolahnya menghafal tetapi tidak berani berbuat, apalagi menyatakan identitas diri atau berpikir. Ini ditambah lagi tradisi membesarkan anak yang sejak lahir tubuh dan kedua kaki-tangannya dibedong lalu digendong. Sekalipun sudah bisa berjalan, kita selalu dituntun orang dewasa. Beda benar dengan tradisi belajar di negara-negara yang mendorong manusianya berpikir dan bertindak. Di negeri penumpang, wacana berlimpah, gagasan hebat mudah ditemui di televisi, tetapi sedikit sekali kaum elite yang bergerak.


Kurikulum berpikir

Gagasan merampingkan jumlah mata ajaran tentu saja tak boleh diikuti oleh rasa takut yang berlebihan di kalangan para pendidik. Sebab, sebagaimana layaknya setiap perubahan, maka tak pernah ada perubahan yang langsung berakhir dengan kesempurnaan. Namun, satu hal yang pasti, seperti orang yang berfoto bersama, maka setiap orang akan selalu melihat pada wajahnya masing-masing. Ia akan mengatakan fotonya bagus, semata-mata kalau dirinya tampak bagus.

Bagi saya, perubahan kurikulum yang ramai diperbincangkan seharusnya dapat dilihat pada aspek lebih luas daripada sekadar merampingkan mata ajaran. Perubahan ini seharusnya dapat dijadikan momentum untuk melakukan transformasi diri manusia Indonesia dari tradisi mindset ”penumpang” menjadi cara berpikir ”pengemudi”. Transformasi ini berdampak sangat luas yang sudah pasti membutuhkan penyempurnaan bertahap hingga ke tingkat pendidikan tinggi.

Riset-riset terbaru menunjukkan, betapa banyak cara kita belajar sudah harus diubah. Daniel Coyle (2010), misalnya, menunjukkan kemajuan yang dicapai dalam neuroscience yang menemukan bahwa manusia cerdas tidak hanya dibentuk oleh memori otak, tetapi juga memori otot (myelin). Sementara Carol Dweck dan Lisa Blackwell (2011) menemukan bahwa anak-anak yang secara akademik dianggap cerdas berpotensi menyandang mindset tetap sehingga kecakapannya untuk berkembang menjadi terhambat.

Keduanya menunjukkan cara-cara baru membentuk mental pengemudi yang sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan generasi baru di abad ke-21. Jadi, terimalah perubahan dan persiapkan lebih baik.



Ditulis oleh Rhenald Kasali (Guru Besar FE-UI)
Kompas, Jum'at 28 Desember 2012

PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIPLE INTELLIGENCES DAN METODE ACTIVE LEARNING


PENDAHULUAN

Pendidikan nasional memandang manusia Indonesia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan segala fitrahnya, makhluk individu dengan segala hak dan kewajibannya dan makhluk sosial dengan segala tanggung jawabnya yang hidup tengah-tengah masyarakat global dengan segala tantangannya. Dari itulah pendidikan bertujuan untuk mengembangkan potensi anak didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta tanggung jawab[1].
Untuk mewujudkan cita-cita mulia pendidikan, diperlukan sistem pembelajaran yang representatif, yaitu sistem yang mampu mengelola peserta didik mulai dari input, proses dan output berbasis pemenuhan kebutuhan dan pengembangan potensi setiap unsur yang terdapat di dalam diri manusia. Apabila kebutuhan-kebutuhan manusia dapat terpenuhi, baik kebutuhan jasmani, akal, ruh maupun kebutuhan berinteraksi, maka akan tercipta keseimbangan yang akan berdampak pada kebahagiaan dan kedamaian.
Kenyataannya, pendidikan terutama di Indonesia belum mampu melakukan penyeimbangan dan pengembangan terhadap potensi-potensi yang terdapat dalam diri anak didik. Memang aturan-aturan penyelenggaraan pendidikan sudah mulai tertata terutama setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (NSP). Namun demikian sistem penyelenggaraan pendidikan yang digunakan belum ada perubahan yang signifikan sehingga masih banyak sekolah/madrasah yang beberapa elemen sistem pendidikannya masih kurang sejalan dengan “sistem pendidikan yang proporsional”. Proporsional tidak hanya mampu sekadar seimbang, tetapi juga manusiawi, yakni mampu mengembangkan potensi-potensi fitrah manusia.
Untuk memperbaiki pendidikan di negeri ini, maka berbagai potensi dan kecerdasan yang dimiliki anak wajib digali, dikembangkan dan diarahkan dengan baik oleh orang tua, keluarga, lembaga pendidikan, masyarakat, pemerintah dan negara untuk mencetak generasi unggul dan “sukses hidup” di tengah persaingan global. Hal ini dapat dilakukan dengan jalan menyelenggarakan pendidikan yang memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk tumbuh dan berkembang sesuai potensi, bakat, minat dan kecerdasannya yang berbeda-beda. Menyelenggarakan pendidikan yang memanusiakan anak, memperlakukan anak dengan ramah dan dapat mempersiapkan dan mengembangkan potensi (fitrah) manusia sebagai hamba Allah di dunia dan khalifatullah di muka bumi yang merupakan tujuan utama pendidikan islam.
Menyadari akan berbagai peristiwa di atas terdapat lembaga pendidikan islam yang telah berusaha untuk membenahi sistem pendidikannya melalui “Pendidikan berbasis Multiple Intelligences System (MIS)”, yaitu merupakan suatu sistem pendidikan mulai dari input, proses dan output yang sangat menghargai setiap potensi anak didik. Dalam MIS guru dipantik menjadi inspirator bagi anak didik yang siap menghatarkan mereka untuk menemukan kompetensi terbaik lebih awal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral kemanusiaan.

MAKNA KONSEPTUAL DAN IMPLEMENTASI

A.      Konsep Multiple Intelligences System (MIS)[2]
      Teori kecerdasan “Multiple Intelligences”, sebuah teori psikologi yang digagas oleh Howard Gardner,  psikolog dari Harvard University tahun 1983, dengan delapan macam kecerdasan, yakni (1) Kecerdasan verbal/linguistik, (2) Logika matematik, (3) Visual/spasial, (4) Music/rhythmic, (5) Bodi/kinestetik, (6) Interpersonal, (7) Intrapersonal, dan (8) Naturalistic. Dalam dunia pendidikan 8 kecerdasan tersebut telah dijadikan alat tes Multiple Intelligences Research (MIR) untuk mengetahui kecerdasan tertinggi dan gaya belajar anak didik, sedangkan dalam proses pembelajaran dijadikan sebagai strategi untuk membantu mempercepat menemukan kondisi akhir terbaik anak didik, yakni sebuah profesi yang akan menghasilkan kemanfaatan dan keuntungan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat tanpa ada hubungannya dengan ketuhanan/kecerdasan spiritual.

B.      Implementasi
  1.  Untuk melaksanakan pembelajaran berbasis Multiple Intelligences System (MIS) yang mampu mengubah dari kondisi siswa negatif ke kondisi positif dengan berbagai jenis kecerdasan dan kondisi siswa, dilaksanakan rekuitmen guru berkualitas, dengan syarat utama: bersedia terus belajar dan memiliki komitmen, rekruitmen diselenggarakan melalui tes tulis, praktik (microteaching) dan wawancara,
  2.   Proses pembelajaran berbasis Multiple Intelligences System (MIS),
  3.  Penyusunan lesson plan berdasarkan hasil MIR dan SOP dengan memperhatikan 8 kecerdasan tertinggi, dan kondisi siswa,
  4.  Penggunaan strategi Multiple Intelligences dalam pembelajaran didasrkan pada cara kerja otak secara holistic activiteis dan whole brain dengan variasi metode, aktivitas, tugas dan teaching aids yang disesuaikan dengan jenis kecerdasan dan kondisi siswa,
  5.  Materi pembelajaran dikaitkan dan diaplikasikan dengan kehidupan nyata sehari-hari, untuk menumbuh-kembangkan kepedulian lingkungan dan sosial yang berujung pada peningkatan kecerdasan spiritual manuju Islamic Character Building,
  6.  Penilaian kompetensi siswa, meliputi ranah kognitif (daya pikir/pemahaman materi), psikomotorik (produk/karya hasil belajar), dan afektif (sikap/respon siswa selama pembelajaran),
  7.  Siswa yang belum tuntas dalam pembelajaran satu tema, di remidi dan diberi soal-soal lain hingga siswa mampu menjawab sesuai dengan apa yang dia bisa,
  8.  Penilaian kompetensi guru meliputi: hasil belajar siswa kualitas lesson plan, kreativitas dan perilaku/kinerja. Penilaian tersebut sesuai dengan profesionalisme guru, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial. 


 C.       Kuasi Empat Kemampuan Dasar
Apa yang dilakukan jika menemukan bakat si kecil yang menonjol? Tentu fokus mengasah satu talenta tersebut. Padahal, setiap buah hati menyimpan potensi besar yang semua bisa dioptimalkan.
“Setiap anak berpotensi memiliki kecerdasan majemuk atau multiple intelligence. Syaratnya berkembang dengan baik sejak dari kandungan” tegas dr. Ahmad Suryawan, SpA(K), spesialis tumbuh kembang. Multiple Intelligences (MI) merupakan kecerdasan yang terdiri atas sembilan kecerdasan yakni, kinestetik, linguistik, matematik dan logik, spasial (abstraksi ilmu ukur ruang), visual, interpersonal (hubungan dengan orang lain), intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), naturalis (mengenal tanaman dan hewan), serta musik[3].
Dokter wawan menjelaskan, peluang buah hati bisa menguasai Multiple Intelligences bermula dari kondisi kehamilan sang bunda yang sehat dan proses persalinan yang aman. Dalam proses tumbuh kembang, Bunda tidak perlu memaksa si kecil menguasai semua jenis kecerdasan. Yang perlu dilakukan adalah membuat si kecil menguasai empat kemampuan dasar yakni, motorik kasar, motorik halus, sosialisasi dan berbahasa.
“Jika semua hal itu terpenuhi, ketika anak memiliki perkembangan proporsi yang seimbang, anak itu berhak mempunyai Multiple Intelligence” ujarnya. Semua itu harus dikuasai sebelum buah hati berusia enam tahun.
Kemampuan motorik kasar akan mendorong kecerdasan kinestetik. Bahasa mendorong kecerdasan linguistik dan musikal. Motorik halus mendorong kecerdasan kemampuan visual spasial dan logikal matematika. Sementara kemampuan sosial dan kemandirian bisa mendorong kemampuan natural, interpersonal dan intrapersonal hingga moral spiritual.
Setelah buah hati terlihat menguasai keempatnya, barulah bunda berdiskusi dengan si kecil soal bidang yang paling diminati. Di sisi lain, kenalkan pula beragam kemampuan kecerdasan dengan cara yang fun dan tidak memaksa. “Nanti anak memilih sendiri apa yang disukainya. Kalai anak menyukainya akan muncul potensi di bidang itu” terang wawan.
Satu hal yang haram dalam proses mengasah Multiple Intelligence adalah memaksa si kecil menguasai bidang tertentu. Jika dipaksakan, bakal jadi bumerang. “Si kecil bisa saja menguasai bidang yang diarahkan orang tua. Tetapi mereka tidak akan mendapat potensi sesungguhnya”. Tegas wawan

D.      Active Learning Metode
Metode active learning adalah pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif, dengan menggunakan otak, baik untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan masalah, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka ketahui ke dalam persoalan yang adal dalam kehidupan nyata (Zaini, 2002, XVI).
Sesuatu metode pembelajaran yang mengajak siswa untuk belajar secara aktif menggunakan otak baik untuk menemukan ide pokok dari materi pelajaran, memecahkan persoalan, atau mengaplikasikan apa yang baru mereka pelajari kedalam suatu peprsoalan yang ada dalam kehidupan nyata. (Zaini, 2002, XIII).
Pembelajaran aktif (active learning) dimaksudkan untuk mengoptimalkan penggunaam semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua anak didik dapat mencpai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa/anak didik agar tetap tertuju pada proses pembelajaran. (Hartono, 2009: 1). Dalam hal ini pembelajaran aktif merupakan segala bentuk pembelajaran yang memungkinkan siwa berperan secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri baik dalam bentuk interaksi, diantaranya aktivitas siswa, peran guru dan pemanfataan lingkungan dalam proses pembelajaran tersebut.
Metode belajar aktif dalam pendidikan agama Islam, khususnya bagi kelas usia rendah merupakan cara yang efektif digunakan karena untuk mempelajari sesuatu dengan baik, belajar aktif membantu untuk mendengarkannya, melihatnya, mengajukan pertanyaan tentang pelajaran tertentu, dan mendiskusikannya dengan yang lain. Yang paling penting mereka memecahkan masalah secara sendiri, memberikan contoh yang kreatif dan melakukan berbagai tugas. Belajar aktif dalam pendidikan agama Islam akan mampu menciptakan lulusan yang mandiri dan kreatif karena segala aktifitasnya itu didasarkan atas pengalaman yang nyata.
Deskripsi penerapan metode active learning, instrumen yang digunakan pada hal ini adalah wawancara kepada guru mata pelajaran fiqih, karena pada siklus II guru juga mendampingi siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan metode active larning, sehingga guru mengetahui peningkatan baik prestasi maupun minat siswa terhadap pelajaran. Metode active learning sangat perdampak positif bagi proses belajar, siswa lebih aktif, minat siswa meningkat dan prestasi siswapun terbukti meningkat, dalam hal ini dapat memudahkan pendidik dalam PBM untuk memahamkan materi yang diajarkan.


PENUTUP
Kesimpulan dari hasil kegiatan seluruh pembahasan bahwa pembelajaran dengan metode active learning dapat membawa dampak positif terhadap prestasi siswa, dibuktikan dengan perolehan tes yang sangat meningkat dan respon pendidik tentang metode active learning pun begitu positif dan dapat dijadikan acuan untuk materi yang akan datang. Untuk menggunakan metode active learnig, diperlukan perencanaan yang matang untuk mempersiapkan bahan-bahan yang digunakan baik media ataupun materi.


DAFTAR PUSTAKA
 AL-Abrashi, Muhammad ‘Atiyah. At-Tarbiyyah Al-Islamiyah, Kairo; Dar al Ma’rif, 1985.
Agustuan, Ary Ginanjar, Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Jakarta PT. Arga, 2002.
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia, Sekolah Berbasis Multiple Intelligences di Indonesia. Bandung PT. Mizan Pustaka, 2009.
Elain, B. Johnson. Contextual Teaching and Learning. California: Corwin Press, Inc. Asage Publication Company Thousand Oaks, 2002.
Eny Purwati, Ringkasan Disertasi Model Pembelajaran PAI berbasis Multiple Intelligences, Surabaya: Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011.
Gardner, Howard. Development and Education of the Mind. New York: Basic Books, 1992.
______. Multiple Intelligences: The Theory in Practice. New York: Basic, 1993.
Hanifudin, Ringkasan Disertasi Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) berbasis Multiple intelligences (MI), (Studi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan jenjang SMP. Surabaya: Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, 2010.
Jawa Pos, edisi Jum’at, 21 September 2012
Malik Fadjar, A. Visi Pembaruan Pendidikan Islam. Jakarta: LP3NI, 1998.
Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.
Mujib, Abdul. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006.
Nash ‘Ulwan, Abdullah. Tarbiyah al-Aqlad fi al-Islam. Kairo: Dar as-Salam, 1997.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persfektif islam. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Depdiknas, 2008.
______. Permendiknas nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
______. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Siswam Pendidikan Nasional. Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Balitbang, 2004.
______. Peraturan pemerintah RI Nomor 19 tahun 2005, Standar Nasional Pendidikan Jakarta: Depdiknas, 2005.
______. Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 2005, Undang-undang Guru dan Dosen. Jakarta: Cemerlang, 2005.


[1] Depdiknas, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3 (Jakarta: Pusat Data dan Informasi, Balitbang, 2004), 4
[2] Eny Purwati, Ringkasan Disertasi Model Pembelajaran PAI berbasis Multiple Intelligences, Surabaya: Program Doktor Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011.
[3] Jawa Pos, edisi Jum’at, 21 September 2012