11 Januari 2013

PERANG IDEOLOGIS SASTRA KE-ISLAM-AN DI INDONESIA


Karya sastra merupakan karya yang mengandung berbagai macam fungsi. Di dalam karya sastra mengandung nilai-nilai atau ajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Di samping itu, karya sastra juga menggambarkan identitas. Identitas kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat dari corak kebudayaan yang tereflesikan di dalam karya sastra itu. Itu sebabnya karya sastra tidak pernah lepas dari latar belakang kebudayaan yang mendasari lahirnya karya sastra tersebut. Corak karya sastra ini dapat dibedakan karena berbagai hal; bahasa, budaya, politik, kondisi ekonomi, dan yang paling penting adalah keyakinan atau agama. Itu sebabnya peranan pengarang dalam hal ini sangat penting, sebagai subjek yang membuat karya sastra itu.
Di indonesia, karya sastra yang berlatarbelakang keagamaan sebenarnya sudah lama ada. Meskipun karya sastra dengan corak ini timbul tenggelam sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya. Itu sebabnya, karya sastra dengan corak keyakinan atau keagamaan ini belum bisa mewarnai secara menyeluruh atas nilai-nilai ataupun gagasan yang ada di dalam masyarakat bangsa ini. Setelah Era Reformasi karya sastra bercorak ke-islam-an bermunculan. Adanya reformasi telah memberikan angin segar kepada para penulis muda muslim mengekspresikan pemikiran mereka melalui karya sastra bercorak keagamaan ini. Habiburahman El Sirazy, Golagong, Asma Nadia, Helvy tiana Rosa dan penulis muslim lainnya telah menorehkan pengaruh yang sangat penting bagi kesusastraan di Indonesia.
Era Reformasi memberikan angin segar kepada para penulis di bidang kesusastraan, karena longgarnya pengawasan pemerintah terhadap media massa, termasuk karya sastra. Namun demikian, nampaknya kesempatan ini belum digunakan oleh para sastrawan ataupun kritikus muslim untuk mengembangkan karya sastra di bidang ini secara maksimal. Lahirnya penulis dari kalangan muslim dan menyuarakan keagmaan mungkin sudah mulai timbul kesadaran. Mengingat jumlah penduduk yang mayoritas muslim; para penulis banyak yang berminat mengangkat isu-isu keagamaan ataupun moral yang memakai latar belangakan masyarakat atau tokoh ke-islam-an sebagai media kritiknya. Namun yang disayangkan, justru kritikus di bidang karya sastra islam ini masih sangat minim. Mungkin kita mengenal Gunawan Muhammad, Taufikq Ismail, dan beberapa pengamat sekaligus sastrawan yang berminat mengkritisi atau mengangkat kesusastraaan islam. Tetapi karena jumlah mereka yang masih sangat terbatas, maka gaungnya pun masih kalah dibandingkan dengan mereka yang concern pada karya sastra yang bercorak liberal sekuler.
Di lapangan bisa kita lihat bagaimana popularitas Ayu Utami yang dianggap sebagai pelopor kebebasan bagi perempuan dalam karya sastra. Karya Ayu Utami mengalami lonjakan penjualan yang luar biasa karena penilaian posistif dari para pengamat dan pendukung liberalisme dan sekulerisme. Karya sastra Saman danLarung, karya Ayu utami langsung disambut diberbagai negara sebagai karya monumental yang dapat memberikan alternatif pemikiran bagi wanita modern di Indonesia. Ketenaran Ayu utami tidak lepas dari banyaknya pengamat dan kritikus yang mendukung karya ini. Sehingga karya ini sampai diterjemahkan dalam banyak bahasa.
Sebenarnya secara kualitas, karya sastra bercorak ke-islam-an tidaklah kalah dengan karya-karya sekuler liberal ala Ayu Utami. Baik dari gaya bahasa, muatan isi, apalagi pesan moral yang disampaikan dalam karya sastra ke-islam-an. Karya Habiburahman Rahman, mungkin bisa menjadi saingan karya Ayu Utami. Namun demikian nyatanya sampai detik ini masih sangat minim pengamat dan kritikus yang mau mengangkat karya-karya besar ini. Kalau pun ada masih terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Demikian juga, penelitian-peneltiian di perguruan tinggi, mahasiswa yang berminat menelaah karya sastra dengan corak keislaman ini masih sangat minim, di perguruan tinggi islam sekalipun. Padahal, jika ditelaah secara ilmiah maupun muatan karya Habiburahman lebih mengena bagi masyarakat Indoneisa. Minimnya kritikus dan lembaga yang bisa mengangkat karya sastra keislaman mengakibatkan karya sastra yang mengandung nilai-nilai keislaman tidak setenar karya yang sifatnya umum.
Karya sastra yang mendasarkan diri pada nilai-nilai keislaman merupakan karya sastra yang memiliki nilai plus. Di samping menghibur pemirsanya, karya sastra ini mengajarkan nilai-nilai keislaman; baik akhlaq, aqidah dan juga ibadah. Cara berbicara, berpakaian dan pergaulan dalam masyarakat memiliki ciri tersendiri. Interaksi yang terefleksikan masing-masing tokoh dalam karya sastra islam menawarkan karakteristik yang lebih santun dan sopan. Di sinilah mengapa beberapa pengamat mengatakan bahwa sastra islam merupakan genre tersendiri *).
Apa itu karya sastra Islam?
Menurut A. Teeuw, dalam Sejarah sastra islam Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Sejak jaman kerajaan negara kita sudah memiliki banyak sastrawan yang mengangkat isu-isu keagamaan sebagai tema dalam karya sastranya. Tema-tema keagamaan sengaja dimasukan dalam karya sastra dengan tujuan berdakwah atau menanamkan nilai-nilai kepada pembacanya. Tema-tema keagamaan dapat dilihat dari karya Sunan Bonang, Yasadipura II, Ranggawarsita III, Raja Ali haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, HAMKA, Amir Hamzah, Chiril Anwar, dll. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra mampu dijadikan sebagai media dakwah yang menyenangkan dan penuh kedamaian.
Gunawan Muhhammad menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sastra keagamaan adalah karya sastra yang menitikberatkan pada kehidupan keagamaan sebagai pemecah masalah. Sastra islam adalah sastra yang mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran islam; memuji dan mengakat tokoh islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islam; mengkritik pemahaman islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat islam awal atau paling tidak sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip islam.
Kelahiran sastra ke-islam-an membentuk sebuah ciri yang mungkin tidak terdapat di dalam karya sastra bentuk lain. Sebutan sastra islam dapat dipilah lagi dalam berbagai pentuk pertama, sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah an-nafs) dengan berakhlaq baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan Allah. Kedua, Sastra suluk yaitu, karya sastra yang menggambarkan perjalanan spiritual seorang sufi mencapai taraf dinama hubungan jiwa telah dekat dengan Tuhan, yaitu Musyahadah, penyaksian terhadap ke-Esaan Allah. Ketiga, sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan yang Transenden. Keempat, sastra profetik yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.
Itulah gambaran singkat tentang karya sastra ke-islam-an di Indonesia. karya sastra ini memiliki berbagai fungsi yang sangat bagus dalam rangka pendidikan karakter bangsa ini. Dengan demikian, keberadaan karya sastra ini sudah saatnya diperhitungkan dan dikembangkan secara maksimal, agar keberadaannya benar-benar memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada bangsa dan negara ini.Wallahu’alam bishawab

Ditulis oleh Wajiran, S.S., M.A.
Dosen Fakultas Sastra Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Pada Opini Kompas, 11 Januari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar