Membicarakan pendidikan seakan tidak pernah ada pangkal ujungnya. Demokrasi
merupakan salah satu topik yang menjadi debatebel dalam dunia pendidikan ini.
Demokrasi di bidang pendidikan merupakan suatu keharusan agar dapat melahirkan manusia-manusia
yang berwatak demokratis.[1]
Reformasi pendidikan melalui demokrasi pendidikan, menurut Zamroni dapat dibegi
dalam tiga aspekpendidikan, yaitu regulatori, profesionalitas, dan manajemen.[2]
Aspek regulatori dititik beratkan pada reformasi kurikulum yang berkaitan
dengan perumusan tujuan pendidikan, penerapan kurikulum berbasis kompetensi (competency-based
curriculum), pengesahan paradigma kerja guru dari responsibility kearah
accountability, dan pelaksanaan evaluasi dengaan esai dan portopolio. Aspek
profesionalitas ditujukan untuk mengembalikan hak-hak dan wewenang kepada guru
dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Aspek ini dapat ditempuh melalui
pengembangan kesadaran hak-hak politik guru dan pemberian kesempatan kepada
guru untuk mengembangkan dirinya.
Sedangkan aspek manajemen pedidikan di tujukan untuk mengubah
pusat-pusat pengambilan dan kendali pendidikan. Reformasi aspek manajemen ini
dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, memberikan kesempatan yang
lebih luas kepada lembaga pendidikan untuk mengambil keputusan berkaitan dengan
pendidikan. Kedua, memberikan kesempatan yang luas kepada warga
masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelengaraan pendidikan. Kebijakan ini
dapat diwujudkan dalam bentuk pendidikan berbasis masyarakat (community
based education).
Dalam makalah ini akan mengkaji empat pokok bahasan. Pertama,
demokrasi dan pendidikan. Kedua, hubungan pendidikan dan masyarakat. Ketiga,
pembelajaran dalam konteks masyarakat. Empat, hambatan dan dukungan.
A.
Demokrasi dan Pendidikan
Pendidikan berbasis
masyarakat adalah bagian dari wacana demokrasi pendidikan, maka pada bagian ini
terlebih dahulu dikemukakan hubungan demokrasi dengan pendidikan. Demokrasi
berasal dari Yunani, demos (rakyat) kratos (pemerintahan).
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dengan kekuasaan di tangan rakyat.
Dewasa ini, demokrasi telah diterima oleh hampir seluruh bentuk pemerinntahan
di dunia.
Menurut
masykuri Abdullah, demokrasi memiliki tiga unsur utama, yaitu; adanya kemauan
politik dari Negara, adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik, dan
adanya civil society yang kuat dan mandiri.[3]
Ketiga unsur itu diproses dalam sebuah Negara yang menjamin adanya kekuasaan
mayoritas, suara rakyat dan pemilihan umum yang bebas dan bertanggung jawab.[4]
Selain itu, demokrasi juga memiliki dua norma baku yang berlaku bagi setiap
bentuk “demokrasi”, public accountability
(pertanggungjawaban kepada rakyat) dan contestability
(uji kesahihan apakah demokrasi itu bercermin kepada kehendak bersama atau nama
kepentingan lain).[5]
Oleh karena
itu, demokrasi dalam arti modern, sebagaimana dikemukakan Magnis-Suseno, sering
dipahami sebagai sebuah sistem politik yang melembagakan control terhadap
pemerintah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), serta kewajiban pemerintahan untuk
memberi pertanggungjawaban (accountability) kepada rakyat melalui sistem
perwakilan.[6] Jadi, di dalam demokrasi modern terdapat dua kategori prinsip,
yaitu prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip pertanggungjawaban melalui
perwakilan.
Demokratisasi
adalah proses menuju demokrasi. Dalam konteks ini, pendidikan merupakan sarana
paling srtategis bagi penciptaan demokratisasi. Dalam pandangan Azyumardi Azra,
cara paling srtategis “mengalami demokrasi” (experiencing democracy)
adalah melalui apa yang disebut sebagai democracy education. Pendidikan
demokrasi dapat dipahami sebagai sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi
konsep, sistem, nilai, budaya, dan praktik demokrasi melalui pendidikan.[7]
Selanjutnya
Azra menegaskan bahwa, dalam banyak hal, pendidikan demokrasi identik dengan
“pendidikan kewargaan” (civic education), meskipun pendidikan kewargaan
lebih luas cakupannya daripada pendidikan demokrasi. Namun yang jelas, keduanya
berupaya menumbuhkan civic culture dan civility di lingkungan
pendidikan, yang pada gilirannya akan menjadi kontribusi penting bagi
pengembangan demokrasi yang baik dan otentik pada Negara-bangsa Indonesia.[8] Sejalan dengan pendapat Azra, ‘Syafi’I Maarif mengemukakan bahwa
proses penciptaan mentalitas dan kultur demokrasi kiranya dapat dilakukan
melalui proses pendidikan. Dalam kaitan ini, perwujudan sistem pendidikan yang
demokrasi merupakan keniscayaan yang harus disikapi secara positif oleh seluruh
komponen yang terlibat dalam proses pendidikan.[9]
Demokratisasi
pendidikan mengandung arti proses menuju demokrasi dalam bidang pendidikan.
Demokratisasi pendidikan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu “demokrasi
pendidikan” dan “pendidikan demokrasi”. Demokrasi pendidikan, sebagaimana telah
disinggung pada awal tulisan ini, dapat diwujudkan di antaranya melalui
penerapan konsep pendidikan berbasis masyarakat dalam sebuah penyelenggaraan
pendidikan nasional. Demokrasi pendidikan lebih bersifat politis, menyangkut
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan di tingkat nasional. Apabila
demokrasi mulai diterapkan dalam pendidikan, maka pendidikan tidak akan menjadi
alat penguasa. Rakyat atau masyarakat diberikan haknya secara penuh untuk ikut
menentukan kebijakan pendidikan nasional. Semua pihak yang berkepentingan
dengan pendidikan diharapkan dapat berpartisipasi dalam penentuan kebijakan
pendidikan. Inilah yang disebut demokrasi pendidikan Kartini Kartono.[10]
Adapun
pendidikan demokrasi berkaitan dengan bagaimana proses pendidikan itu
dilaksanakan di tingkat lokal.[11] Di dalam pendidikan demokrasi, proses pembelajaran di kelas dapat
diarahkan pada pembaharuan kultur dan norma keadaban. Fungsi pendidikan dalam
proses pembelajaran yang demokratis adalah sebagai fasilitator, dinamisator,
mediator, dan motivator. Sebagai fasilitator, pendidikan harus memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mencoba menemukan sendiri makna informasi
yang diterimanya. Sebagai dinamisator, pendidikan harus berusaha menciptakan
iklim pembelajaran yang dialogis dan berorientasi pada proses. Sebagai
mediator, pendidikan harus memberikan rambu-rambu atau arahan agar peserta
didik bebas belajar. Sebagai motivator, pendidikan harus selalu memberikan
dorongan agar peserta didiknya bersemangat dalam menuntut ilmu.
Pendidikan
demokrasi menuntut adanya perubahan asas subject matter oriented menjadi
student oriented. Proses pendidikan selama ini terkesan menganut asas subject
matter oriented, yaitu bagaimana membebani peserta didik dengan
informasi-informasi kognitif dan motorik yang kadang-kadang kurang relevan
dengan kebutuhan dan tingkat perkembangan psikologis mereka. Dengan orientasi
seperti ini dapat dihasilkan lulusan yang pandai, cerdas, dan terampil, tetapi
kepandaian dan kecerdasan emosional. Keadaan demikian terjadi karena kurangnya
perhatian terhadap ranah afektif. Padahal ranah afektif sama penting peranannya
dalam membentuk perilaku peserta didik.
Suasana
pendidikan yang demokrasi senantiasa memerhatikan aspek agalitarian (kesetaraan
atau sederajat dalam kebersamaan) antara pendidikan dengan peserta didik.
Pengajaran tidak harus top down, namun diimbangi dengan bottom up.
Tidak ada lagi pemaksaan kehendak dari pendidik, tetapi akan terjadi
tawar-menawar di antara kedua belah pihak dalam menentukan tujuan, materi,
media, dan evaluasi hasil belajarnya. Dengan komunikasi structural dan cultural
antara pendidikan dan peserta didik, akan terjadi interaksi yang sehat, wajar,
dan bertanggungjawab. Peserta didik boleh saja berpendapat, berperasaan, dan
bertindak sesuai dengan langkahnya sendiri, asalkan ada argumentasi yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. peserta didik bukan saja memahami
demokrasi, tetapi juga menjalani latihan seperti berdebat, menghargai pandangan
dan harga diri orang lain, serta mematuhi aturan hukum yang diaplikasikan dalam
setting diskusi.
Pendidikan umum
lebih bisa menerapkan system demokrasi, dibandingkan dengan pesantren pada masa
awal pendidikan yang ada dibangsa ini. Dalam pesentresn semu tersentral pada
peran seorang kiyai atau ulama yang menjadi pengasuh dalam pesentran tersebut.
System
sentralisai yang ada dalam pesentran seperti pendidikan awal di bawah kekuasaan
rezim orde baru yang semua tersentral dalam satu muara. Hal itulah yang
kemudian menuntut lembaga pendidikan untuk lebuh kreatif dalam menterjemahkan
sebuah karakteristik lembaga pendidikan.
B.
Hubungan Pendidikan dan Masyarakat
Masyarakat
adalah sebuah miniature kecil dari sebuah negara. Pada dewasa ini hampir setiap
kegiatan kehidupan masyarakat selalu dikaitkan dengan nilai-nilai pendidikan.
Sejak bangun di pagi hari hingga istirahat kembali di malam hari, tampak adanya
nilai pendidikan. Oleh karena itu, sulit dipisahkan antara pendidikan dengan
kehidupan masyarakat. Hanya saja model pendidikan yang bagaimana yang dapat mendidik
masyarakat menuju kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban mereka. Sebab, dengan
kemajuan ilmu pengetahuan yang tidak menyatu dengan masyarakat justru
menimbulkan macam-macam pendidikan yang tidak mendidik. Tata kehidupan masyarakat
banyak yang hancur-hancuran. Oleh karena itu, perlu dihubungan secara harmonis
antara pendidikan dan masyarakat. Pendidikan membutuhkan masyarakat, demikan
pula sebaliknya masyarakat membutuhkan pendidikan.
Dalan
undang-undang no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional disebutkan
bahwa pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat
sebagai perwujudan pendidikan dari dan oleh masyarakat.[12]
Dalam kajian demokrasi pendidikan, pendidikan berbasis masyarakat ini dapat
dipahami sebagai sebuah alternatif untuk ikut serta memecahkan berbagai masalah
pendidikan yang ditangani pemerintah, dengan cara melibatkan peran serta masyarakat
secara lebih luas. Masyarakat dilibatkan untuk memahami program-program yang
dilakukan dunia pendidikan dengan tujuan agar mereka termotivasi untuk bisa
memberikan bantuan yang maksimal terhadap terlaksananya program-program
pendidikan tersebut. Bantuan yang dimaksud misalnya masyarakat termotivasi
untuk memasukkan putra-putrinya ke sekolah atau madrasah, memberikan bantuan financial
(uang atau material) tanpa diminta pihak sekolah. Masalah-masalah yang dihadapi
sekolah, madrasah atau perguruan tinggi dapat dipecahkan bersama dengan
masyarakat. Masalah yang dihadapi lembaga pendidikan seperti yang menyangkut
siswa/mahasiswa, guru/dosen, perlengkapan, keuangan dan perumusan tujuan
sekolah, madrasah atau perguruan tinggi dapat diatasi bersama-sama dengan
masyarakat. Berbagai sarana dan prasarana yang ada di masyarakat seperti
lapangan olahraga, gedung pertemuan, masjid, bengkel kerja, tempat-tempat
kursus keterampilan, sumber daya manusia dan lain sebagainya dapat diakses dan
diman-faatkan oleh lembaga pendidikan, tanpa harus membayar.[13]
Pendidikan
berbasis masyarakat juga tidak dapat dipisahkan dari pandangan yang menyatakan
bahwa pada dasarnya pendidikan merupakan kegiatan yang bersifat sosial.
Berbagai komponen pendidikan, seperti visi, misi, tujuan, dasar, kurikulum,
metode, guru yang dibutuhkan, evaluasi, lulusan, sarana dan prasarana
pendidikan harus dirancang sesuai kebutuhan masyarakat. Quraish Shihab berpendapat
bahwa sistem serta tujuan pendidikan bagi suatu masyarakat atau negara tidak
dapat diimpor atau diekspor dari atau ke suatu negara atau masyarakat. Ia harus
timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Ia adalah “pakaian” yang harus diukur
dan dijahit sesuai dengan bentuk dan ukuran pemakainya, berdasarkan identitas, pandangan
hidup, serta nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat atau negara tersebut.[14]
Pendidikan
berbasis masyarakat juga sejalan dengan pandangan mengenai dasar pendidikan
Islam. Para ahli pendidikan Islam sepakat, bahwa selain berdasar kepada
al-Qur’an dan al-Hadits pendidikan Islam juga berorientasi pada masyarakat seperti
umumnya pendidikan lain. Karena itu masyarakat juga menjadi dasar bagi
pembentukan konsep-konsep pendidikan Islam dan pelaksanaannya.
Berdasarkan
uraian tersebut, bahwa pendidikan berbasis masyarakat tersebut pada intinya
adalah bahwa pendidikan harus dikelola secara demokratis dengan melibatkan
seluruh komponen bangsa, yakni pemerintah, sekolah dan masyarakat dalam arti
yang seluas-luasnya termasuk kalangan masyarakat industri, pengusaha,
pengacara, dokter, birokrat, para bankir, dan seterusnya, atas dasar tanggung
jawab moral dan panggilan niat semata-mata karena Allah. Dengan dasar tanggung jawab
dan niat yang demikian itu, maka pelaksanaan konsep pendidikan berbasis
masyarakat tersebut dengan sendirinya akan terlaksana. Pelaksanaan konsep ini
dapat dinilai sebagai terobosan baru untuk merubah keadaan masyarakat yang
selama ini hanya menunggu dikasihani, daripada merubah kedaannya sendiri.
Mereka harus berani merubah sikap dan berkorban demi pendidikan putera-puteri bangsa,
sebagai panggilan iman yang tertanam di dalam jiwanya.
C.
Pembelajaran Dalam Konteks Masyarakat
Pendidikan
yang ada sekarang diharapkan dapat lebih ditekankan bagaimana pendidikan lebih
bisa di arahkan pada pengimplementasi yang nyata dalam masyarakat. Pembelajaran
dalam pendiddikan pada dasarnya, mempunyai tujuan agar pembelajar dapat meningkatkan
mutu hidupnya sebagai mahluk Allah baik individu maupun sosial. Sebagai
individu seseorang diharapkan dapat meningkatkan kemampuan kreatif dan inovatif
dalam menghadapi segala tantangan yang menghadang. Dalam keadaan apapun dan
dimana pun tetap eksis sebagai individu yang berkepribadian. Belajar merupakan
bekal penting bagi seorang individu agar mampu mewujudkan hal-hal di atas.
Sebagai
mahluk sosial, pembelajar harus mampu menjalin hubungan harmonis yang dapat
saling melengkapi atas segala kekurangan yang ada pada salah satu pihak.
Pemahaman ini perlu diperdalam dan diperluas dalam kajian-kajian ilmu
keagamaan. Kehidupan masyakat menjadi familier dan terhayati dalam kehidupan
setiap manusia. Oleh karena itu, setiap lembaga pendidikan di samping membekali
lulusannya dengan penguasaan materi bidang studi juga memberikan pemahaman
tentang kaitan antara materi dan dunia nyata yang tumbuh dalam masyarakat.
Dengan demikian, pembelajaran baik formal maupun informal diharapkan dapat
memberi pengalaman bagi pesertanya sebagaimana dalam rekomendasi UNESCO 1996, learning
to know, learning to do, learning to be, learning to live together.
Dalam
pendidikan Islam, pelaksanaan pendidikan berbasis masyarakat, bukanlah hal
baru. Sejarah Islam telah mencatat, bahwa dengan panggilan iman yang
mengharuskan setiap orang berilmu mengamalkan ilmunya telah mendorong timbulnya
inisiatif masyarakat untuk menyelenggarakan kegiatan pendidikan melalui lembaga-lembaga
pendidikan yang amat bervariasi. Ahmad Syalabi menyebutkan lembaga-lembaga pendidikan
itu sebagai berikut: al-Qashr, Manâzil al-Ulamâ, al-Badiyah, dan Madrasah.[15]
Adanya
lembaga-lembaga pendidikan yang amat bervariatif tersebut membuktikan dengan
jelas bahwa sejak dahulu, pemerintah dan masyarakat dalam arti yang
seluas-luasnya telah berpartisipasi aktif dalam menyelenggarakan kegiatan
pendidikan. Pemerintah dan masyarakat betul-betul telah membangun kerjasama
sinergi yang kompak dalam memajukan kegiatan pendidikan. Prinsip-prinsip
pendidikan untuk semua (education for all), pendidikan seumur hidup (long
life education), pendidikan demokratis yang ditandai dengan adanya program
yang disesuaikan dengan kesanggupan dan keinginan masyarakat, dan adanya otonomi
yang luas bagi masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan.
Keterlibatan,
partisipasi dan peran serta masyarakat dalam melakukan pendidikan juga dapat
dijumpai pada masyarakat Islam di Indonesia. Jauh sebelum pemerintah mendirikan
sekolah atau madrasah formal sebagaimana yang dijumpai sekarang ini, umat Islam
di Indonesia sudah memiliki Surau, Langgar, Mushalla, Majelis Ta’lim, Masjid,
dan Pesantren. Lembaga-lembaga tersebut secara keseluruhan dibangun atas dasar
kemauan dan kesadaran masyarakat sendiri, dan digunakan selain untuk kegiatan
ibadah dan kegiatan social keagamaan juga untuk kegiatan pendidikan.[16]
Hal
tersebut menjadi bukti, bahwa masyarakat ternyata telah mampu mendirikan dan
mengelola lembaga pendidikan secara mandiri dengan lulusannya yang unggul.
Melalui konsep pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana diuraikan di atas,
kelihatannya pemerintah selain ingin berbagi tugas dan tanggung jawab dalam
mengelola pendidikan kepada masyarakat, juga ingin menumbuhkan kembali kepercayaan
dan kreativitas masyarakat dalam mengelola pendidikan. Dengan kata lain konsep
pendidikan berbasis masyarakat tersebut pada hakikatnya kembali kepada konsep
pendidikan yang pernah dilakukan oleh masyarakat sendiri. Dengan cara demikian,
kreatifitas, inovasi, gagasan, keadilan dan demokrasi pendidikan dengan
sendirinya akan tumbuh di masyarakat. Di tengah-tengah situasi di mana
kemampuan pemerintah amat terbatas, maka konsep pendidikan berbasis masyarakat
merupakan alternatif yang perlu mendapat dukungan.
Dalam
standards for science teacher preparation oleh NSTA tahun 1998 bekerjasama
dengan The Association for the Education of teachers in science, dinyatakan
bahwa salah satu aspek yang harus diperhatikan oleh guru adalah konteks sosial.[17]
Guru harus mengidentifikasi dan menggunakan sumber-sumber belajar dari luar sekolah
(schooling). Pembelajaran kontekstual ini diharapkan dapat meningkatkan
motivasi pembelajar, partisipasi orangtua dan masyarakat di lingkungan sekolah
tertentu. Departemen Pendidikan Nasional mencanangkan suatu pendekatan
pembelajaran CTL (contextual teaching and learning) sebagai pembelajaran
yang mengkaitkan antara materi dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong
untuk diterapkan dalam kehidupan mereka sebagai individu, anggota keluarga,
masyarakat dan bangsa. Hasil CTL dapat meningkatkan prestasi belajar melalui pemahaman
makna materi pelajaran yang dipelajari dengan mengaitkan dalam konteks
kehidupan sehari-hari.
D.
Hambatan dan Dukungan
Setiap
sebuah perencanaan tentunya ada sebuah efek yang menjadi dampak. Sebagaimana
halnya konsep pada umumnya, konsep pendidikan berbasis masyarakat ini,
sungguhpun memiliki basis historis, namun dalam pelaksanaannya masih mengalami hambatan
di samping dukungan.Hambatan yang
yang muncul berkenaan dengan pendidikan berbasis masyarakat ini paling kurang
ada tiga hal sebagai berikut.
Pertama, dunia pendidikan pada umumnya sudah terbiasa dengan bantuan dari
pemerintah. Berbagai masalah yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan
seperti keterbatasan dana, gedung tempat berlangsungnya pendidikan, peralatan
belajar mengajar, pengadaan guru, pengakuan ijazah, lapangan pekerjaan bagi
lulusan pendidikan yang dihasilkannya, biasanya ditumpahkan kepada pemerintah.
Inisiatif, kreatifitas yang dapat menghasilkan berbagai kebutuhan bagi
penyelenggaraan pendidikan tersebut belum tumbuh secara merata dari masyarakat.
Dengan kata lain, para penyelenggara pendidikan pada umumnya sudah terbiasa
dimanjakan, sebagai akibat dari penanganan pendidikan di masa Orde Baru yang
terpusat pada pemerintah.
Kedua, secara umum ekonomi masyarakat berada di bawah garis kemiskinan,
sebagai akibat sulitnya lapangan kerja, tidak mampu bersaing, serta kurangnya
kemampuan untuk memperbaiki ekonominya. Dalam keadaan yang demikian, amat sulit
diharapkan adanya partisipasi ekonomi masyarakat dalam mendukung konsep
pendidikan berbasis masyarakat.
Ketiga, secara umum para penyelenggara pendidikan kurang memiliki kemauan,
kemampuan, keterampilan dan strategi dalam menggali dana dari masyarakat. Hal
ini sebagai akibat kurangnya pengalaman serta kurang memiliki kemampuan
kerjasama dengan orang-orang yang memiliki modal atau pihak-pihak para
pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan. Mereka misalnya kurang memiliki
kemampuan menggali dana baik yang bersumber dari dalam maupun dari luar.
Di samping
adanya hambatan sebagaimana disebutkan di atas, terdapat pula faktor dukungan
yang dapat memperlancar pelaksanaan konsep pendidikan berbasis masyarakat.
Dukungan tersebut, paling kurang juga ada tiga sebagai berikut.
Pertama, semangat keagamaan. Masyarakat Indonesia yang umumnya beragama
Islam, meyakini bahwa bahwa setiap orang yang memiliki ilmu pengetahuan wajib
mengajarkan kepada orang lain, walaupun ilmunya itu hanya sedikit. Selain itu
mereka juga percaya bahwa membantu kegiatan di bidang pendidikan, pahalanya
sama dengan berjidah di jalan Allah.
Kedua, bahwa dari sekian puluh juta masyarakat Indonesia yang beragama
Islam, sudah banyak yang tergolong mampu dan berkecukupan dengan berbagai
keahlian dan profesi yang beragam. Di antara mereka ada yang tergolong sebagai
pengusaha besar yang berhasil, pejabat pemerintah yang memiliki kedudukan
tinggi dan strategis, cendekiawan yang disegani, pengacara yang kondang, ketua
atau anggota perlemen, dokter, ahli hukum, artis dan sebagainya. Mereka
memiliki fasilitas yang melebihi kebutuhan hidupnya seperti rumah, tanah,
kendaraan, pabrik, perusahaan, lembaga pendidikan, dan sebagainya. Keadaan
ummat Islam yang demikian merupakan kekuatan yang apabila didayagunakan dan diintegrasikan
ke dalam dunia pendidikan, akan dapat membantu memperlancarkan pelaksanaan
konsep pendidikan berbasis masyarakat tersebut. Banyak di antara mereka yang
telah terjun ke dalam dunia pendidikan, dan dunia pendidikan yang didukung oleh
mereka-mereka itu ternyata cukup maju dan menghasilkan lulusan yang unggul.
Ketiga, di kalangan masyarakat Islam sendiri saat ini sudah banyak yang
berhasil menyelenggarakan pendidikan secara mandiri dengan hasil yang dapat
dibanggakan. Banyak lembaga pendidikan Islam swasta yang cukup memiliki
kredibilitas dan markatabel. Keadaan yang demikian itu dapat mendukung pelaksanaan
konsep pendidikan berbasis masyarakat, manakala mereka mau membantu
lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta lainnya yang belum maju. Jika
faktor-faktor pendukung tersebut dapat didayagunakan secara optimal dan
efektif, maka berbagai hambatan sebagaimana tersebut di atas, dengan sendirinya
dapat diatasi. Persoalannya tinggal apakah ada kemauan, kesungguhan, kerja
keras dan kebersamaan di antara umat dan bangsa Indonesia sendiri.
KESIMPULAN
Dari uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pendidikan berbasis masyarakat merupakan pendidikan yang
sebagian besar keputusan kependidikannya ditentukan oleh masyarakat, sehingga
masyarakat mempunyai peranan penting dalam dunia pendidikan, mulai dari masalah
input, proses, dan output pendidikan, hingga masalah pendanaan. Pendidikan
berbasis masyarakat merupakan hal yang urgen untuk dilakukan dalam rangka
demokratisasi pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat secara politis
merupakan perjuangan politik menuju transformasi sosial. Pendidikan berbasis
masyarakat merupakan bagian dari agenda pendidikan kritis yang senantiasa
berupaya membebaskan pendidikan dari belenggu kekuasaan. Manakala pendidikan
telah terbebas dari dominasi dan hegemoni kekuasaan, itu berarti demokratisasi
pendidikan dapat diwujudkan.
[1]
Zamroni,
Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society, cet I (Yogyakarta:
Bigraf, t.t), 10-11
[3]
Masykuri
Abdullah, “Islam Dan Masyarakat Madani”, dalam http// kompas.com/kompas
%2Dcetak/9902/27/opini/isla/htm.
[4]
Masykuri
Abdullah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respons Intelektual Muslim
Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), 73
[5]
Sostjipto
Wirosardjono, “Demokrasi” dalam
Frans Magnis-Soseno,dkk., Dari Seminar Sehari Agama dan Demokrasi, cet.
II (Jakarta: P3M-FNS, 1994), 14-15
[6]
Frans Magnis
Soseno, “Demokrasi: Tantangan Universal” dalam M.Nasir Tamara dan Elza
Peldi Taher (Eds), Agama dan Dialog Antar Peradaban, cet.I (Jakarta:
Paramadina, 1996), 125
[7]
Azumardi Azra,
“Pendidikan Kewarganegaraan Dan Demokrasi”, dalam http://www.kompas. com
/%2Dcetak/0103/14/ Opini/pend04.htm.
[8]
Ibid.
[9]
Ahmad Syafi’i
Ma’arif, “Ketika Pendidikan Tidak Membangun Kultur Demokrasi” prawacana
untuk Zamroni, Pendidikan Untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society,
cet.I (Yogyakarta: Bigraf, t.t), viii-ix
[10]
Kartini
Kartono, Tinjauan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional Beberapa Kritik
dan Sugesti, (Jakarta: Pradya Paramita, 1997), 196-197
[11]
Husaini Usmas,
“Menuju Masyarakat Madani Melalui Demokratisasi Pendidikan” dalam
www.depdiknas.go.id/jurnal/28/htm.
[12]
Undang-undang
Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No.20 Th. 2003), (Jakarta: Dharma Bakti, 2003), 5
[13]
Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Keagamaan, Manajemen Sarana &
Prasarana Madrasah Mandiri, (Jakarta: t.p., 2001), 102-104
[14]
M. Quraish
Shihab Shihab, Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran WahyudalamKehidupan
Masyarakat, (Bandung: Mizan, Cet. II, 1992), 173
[15]
Ahmad Syalabi, al-Tarbiyah
al-Islâmiyah, Nuzhumuha, Falsafatuha, Târîkhuha, (Kairo: Maktabah
al-Nahdhah al-Mishriyah, 1987), 43
[16]
Abuddin Nata, Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Grasindo, Cet. I, 2001), 6-10
[17]
Anna Poedjiadi,
Sains Teknologi…98
Tidak ada komentar:
Posting Komentar