Pendidikan karakter
mestinya ibarat oksigen dalam kehidupan ini, siapapun dia, apa pun statusnya,
berapa pun usianya, membutuhkan oksigen untuk bekal menjalani kehidupan.
Itulah yang
ingin diterapkan pada pendidikan karakter di lingkungan Kemdiknas. Lalu apa
pentingnya pendidikan karakter? Pertanyaan pendek ini bisa memunculkan jawaban
penajang dan beragam. Bahkan tidak mustahil menjebak kita ke dalam kumparan
definisi yang rumit, silang argument yang memancing selisih pendapat.
Walau pertanyaan
ini melahirkan sederet pengertian, namun semua pasti sepakat dalam satu hal,
betapa pentingnya pendidikan karakter bagi pembangunan generasi bangsa dan
masyarakat Indonesia pada umumnya.
Sasaran pendidikan
karekter, sebagaimana yang dikatakan oleh presiden SBY, bukan hanya kecerdasan,
ilmu dan pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti, watak, nilai, perilaku,
mental dan kepribadian yang tangguh, unggul dan mulia, inilah karakter.
Mengutip pemikiran
Aristoteles, ada dua keunggulan manusia (human excellent). Pertama,
keunggulan, kehebatan dalam pemikiran. Kedua, keunggulan, kehebatan
dalam karakter. Kedua jenis keunggulan manusia ini dapat dibangun, dibentuk,
dan dikembangkan, melalui pendidikan.
Sesungguhnya karakter
yang ingin dibangun bukan hanya sekedar karakter berbasis kemuliaan diri
semata, tapi secara bersamaan membangun karakter kemuliaan sebagai bangsa.
Karakter yang
ingin dibangun bukan hanya kesantunan, tapi secara bersamaan dibangun karakter
yang mampu menumbuhkan kepenasaran intelektual sebagai modal untuk membangun
kreativitas dan daya inovasi.
Ada ilustrasi
yang bisa menggambarkan tentang pentingnya karakter, yaitu permainan sirkus. Dalam
dunia sirkus, pelaku-pelakunya telah mengalami kehilangan karakter orisinilnya (genuine
character). Singa sang raja hutan yang mestinya galak, menjadi hewan
penurut. Demikian juga yang terjadi pada hewan-hewan lain, sehingga menjadi
aneh dan lucu.
Semakin aneh
dan lucu semakin terkagum. Itulah dunia sirkus, dunia keanehan dan kelucuan. Sebagai
lelucon, memang menarik dan kalau kita terjebak dalam keanehan dan
kelucuan itu, berarti kita sebagai
pengikut madzhab sirkuisme.
Tentu, dunia
riil kita bukanlah dunia sirkus, oleh karena harus kita bangun dan tumbuhkan
karakter orisinil kita sebagai bangsa antara lain; pejuang, tangguh, cerdas,
cinta tanah air sekaligus santun dan penuh kasih saying.
Pendidikan kita,
secara imperative harus mampu membangun kembali karakter orisinil tersebut,
karena kalau tidak semua khawatir akan menjadi bangsa lelucon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar