(Uswatun Chasanah, Disampaikan pada
seminar perkuliahan di
Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya
pada tanggal 11 Januari 2011)
Pendidikan Islam secara kelembagaan tampak dalam berbagai
bentuk dan variasi. Di samping lembaga yang bersifat umum, seperti masjid,
terdapat lembaga- lembaga lain yang mencerminkan kekhasan orientasinya. Adapun
lembaga- lembaga tersebut menurut Ahmad Syalabi adalah: al-Kuttab, al-Qushur,
Hawanit, Manzil al-Ulama, al-Salun al-Adabiyah, al-Badiyah, al-Majlis dan
Madrasah. Berdasarkan macam- macam lembaga tersebut, Ahmad Syalabi membagi institusi
pendidikan Islam menjadi dua kelompok, yaitu kelompok lembaga pendidikan
sebelum madrasah dan kelompok lembaga pendidikan sesudah madrasah.[1]
Madrasah secara etimologi merupakan isim makan
dari kata “darasa” yang berarti belajar. Jadi, madrasah berarti tempat
belajar bagi peserta didik (umat Islam) atau bangunan tempat pendidikan atau
proses belajar mengajar secara formal dan klasikal.[2]
Penjelmaan istilah madrasah merupakan
transformasi dari masjid ke madrasah yang melalui tiga tahapan yaitu: tahap
masjid, tahap masjid khan,[3]
dan tahap madrasah. Sedangkan fenomena madrasah mulai menonjol sejak awal abad
11 -12 M, atau abad 5 H, tepatnya ketika wazir Bani Saljuk, Nizam al-Mulk
mendirikan Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.[4]
Berbicara tentang madrasah, maka dalam tulisan ini
penulis memfokuskan kajian pada Madrasah Nizhamiyah, meliputi:
1.
Letak geografis
dan motivasi pendirian Madrasah Nizhamiyah
2.
Sistem pendidikan Madrasah Nizhamiyah
3.
Pengaruh Madrasah Nizhamiyah terhadap masyarakat.
A.
Sejarah dan Latarbelakang Berdirinya Madrasah di Dunia Islam
Penjelmaan istilah madrasah merupakan transformasi dari
masjid ke madrasah. Mengenai transformasi masjid ke madrasah, ada beberapa pendapat
yang menjelaskan hal tersebut, antara lain: Menurut pendapat George Makdisi
yang dikutip oleh Suwito, Ainurrafiq Dawan, dan Ahmad Ta’arifin dalam bukunya
berjudul “Manajemen Madrasah Berbasis
Pesantren Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren”, bahwa madrasah merupakan transformasi institusi
pendidikan Islam dari masjid ke madrasah secara tidak langsung melalui tiga
tahap, yaitu: tahap masjid, tahap masjid khan,[5]
dan tahap madrasah. Sedangkan menurut pendapat Ahmad Amin Syalabi yang dikutip
Suwito, bahwa transformasi masjid ke madrasah terjadi secara langsung.[6]
Mengenai kajian tentang awal munculnya madrasah di dunia
Islam, ada beberapa pendapat para ahli dalam menguraikan hal tersebut, di antaranya:
Syalabi dan Philip K. Hitti mengatakan bahwa madrasah yang mula- mula muncul
dii dunia Islam adalah madrasah Nizhamiyah[7]
yang didirikan oleh Nizham al-Mulk[8],
perdana menteri Dinasti Saljuk[9]
pada tahun pada abad ke-5 H atau abad ke-11M, tepatnya diresmikan pada tahun
459 H atau 1067 M.[10]
Pendapat ini didasarkan adanya popularitas Nizhamiyah yang sering disebut- sebut dalam buku sejarah
dan namanya sangat terkenal dalam sejarah Islam, serta begitu dominan juga
peran Nizham al-Mulk pada saat itu, sehingga mendorong adanya kesimpulan bahwa
Nizham al-Mulk orang pertama yang membangun madrasah. Sedangkan menurut Athiah
al-Abrasyi, bahwa madrasah al-Baihaqiyah adalah madrasah yang pertama didirikan
pada akhir abad ke-4 H. Begitupula berdasarkan hasil penelitian Richard W.
Bulliet bahwa dua abad sebelum Madrasah Nizamiyah muncul, di Nisapur sudah
berdiri madrasah, yaitu madrasah Miyah Dahiyah. Namun, kedua madarasah tersebut
kurang dikenal karena mengingat motivasi pendiriannya bersifat ahliyah
(keluarga).[11]
Meskipun beberapa pendapat para ahli menolak bahwa madrasah
Nizhamiyah bukanlah madrasah yang pertama didirikan, akan tetapi ia merupakan
madarasah yang sangat populer di kalangan masyarakat Islam dan non Islam, hal
ini disebabkan Nizhamiyah merupakan
sistem madrasah pertama khusus didirikan oleh negara dan Sunni.
Pemerintah terlibat dalam menentukan tujuan- tujuan madrasah, kurikulum, dan
memilih guru, serta pemerintah memberikan dana kepada madrasah. Selain itu, Nizhamiyah
memiliki spirit ilmu pengetahuan yang tinggi, baik untuk tujuan politik maupun
agama.
Adapun latarbelakang berdirinya Madrasah selain termotivasi
oleh faktor agama dan ekonomi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, juga termotivasi
oleh aspek politik.[12]
Seperti halnya, latar belakang lahirnya Madrasah Nizamiyah yang paling mendasar
adalah adanya perseteruan antara kelompok Sunni, Dinasti Saljuk dengan kelompok
Syi’ah, Dinasti Fatimiyah di Mesir. Dinasti Saljuk berkeyakinan bahwa idiologi
harus dibalas dengan idiologi. Dari sinilah, maka Nizhamiyah merupakan senjata
atau alat untuk menanamkan doktrin- doktrin Sunni sebagai perlawanan paham
Syi’ah.[13]
B.
Karakteristik Madrasah
Antara madrasah dan lembaga- lembaga pendidikan
sebelumnya mempunyai perbedaan. Lembaga- lembaga pendidikan sebelum madrasah tidak
diatur secara administratif. Guru dan murid mempunyai kebebasan dalam
melaksanakan proses pembeajaran. Berbeda dengan madrasah, lembaga pendidikan
ini diatur secara administratif, sehingga pelaksanaan pendidikan mengikuti
aturan yang yang ditetapkan oleh pengelola madrasah.
Berdasarkan pendapat Philip K. Hitti yang dikutip oleh
Hanun Asrohah dalam bukunya yang berjudul “Sejarah Pendidikan Islam”, bahwa
mengenai tingkatan madrasah Hitti menggolongkan ke dalam institution of
higher education, setara dengan akademik.
Madrasah didirikan dibeberapa wilayah Islam untuk
mendalami bidang studi Fiqih. Seperti halnya, Madrasah di Nisapur didirikan
oleh ulama Fiqih untuk mengembangkan madzhabnya, Madrasah Nizhamiyah juga
didirikan dengan menjadikan Fiqih dan Hadist sebagai materi yang lebih dominan
untuk dipelajari. Karena adanya materi yang dominan diajarkan di madarasah
adalah bidang Fiqih, maka George Makdisi memberi nama madrasah sebagai college
of law.[14]
C.
Tradisi Keilmuan Madrasah
Dalam kajian sejarah telah teruraikan bahwa persoalan
yang timbul segera setelah wafatnya Rasulullah adalah persoalan polotik.
Berangkat dari persoalan politik tersebut kemudian berkembang menjadi persoalan
teologi. Maka dapat disimpulkan bahwa pendorong perkembangan pemikiran dalam
Islam adalah masalah politik.
Adanya latarbelakang sejarah yang sedemikian rupa
ternyata juga sangat berpengaruh pada perkembangan pendidikan dan ilmu
pengetahuan dalam Islam pada masa- masa selanjutnya. Dalam hal ini, dominasi
kepentingan politik dan pemikiran telah menentukan bentuk pendidikan dan corak
ilmu pengetahuan yang dikembangkan dan diajarkan dalam suatu lembaga
pendidikan. Pendidikan dijadikan sebagai sarana pergumulan bidang politik dan
pemikiran. Seperti halnya terlihat dalam tujuan didirikannya Madrasah
Nizhamiyah, yaitu: Pertama, menyebarkan pemikiran Sunni untuk menghadapi
tantangan pemikiran Syi’ah. Kedua, menyediakan guru-guru Sunni yang cakap untuk
mengajarkan madzahab Sunni dan menyebarkan ke tempat- tempat lain. Ketiga,
membentuk kelompok pekerja Sunni untuk berpartisipasi dalam menjalankan
pemerintahan, memimpin kantornya, khususnya di bidang peradilan dan manajemen.
Selain tujuan didirikan Madrasah Nizhamiyah yang dapat
dijadikan bukti bahwa perkembangan pendidikan dan ilmu pengetahuan dipengaruhi
oleh pergumulan politik dan pemikiran, ada beberapa bukti lain, yaitu adanya
pembagian pola- pola pendidikan Islam yang didasarkan atas aliran pemikiran
dalam Islam. Misalnya, Madrasah al-Fuqaha> wa al- Muh{addithi>n, Madrasah al-Mu’tazilah, al-Madrasah
al-Fiqhiyyat dan sebagainya.
Melalui kajian yang lebih dalam, tradisi keilmuan di
madrasah dapat dilihat dari tiga hal, yaitu: transformasi madrasah, aliran
keagamaan, dan politik pemerintahan.[15]
1.
Transformasi Madrasah
Sebagaimana yang terparikan di atas, bahwa madrasah
merupakan transformasi dari masjid ke madrasah. Adanya proses transformasi
tersebut, maka terjadilah perubahan- perubahan dalam berbagai aspek. Seperti
halnya perubahan secara fisik, perubahan administrasi dan managemen dan
perubahan yang lainnya.
Jika dilihat dari kesamaan fungsi dan tujuannya, terdapat
indikasi bahwa transformasi struktur itu tidak diikuti transformasi substansi
keilmuan yang berarti. Dari sisi keilmuan, ilmu- ilmu yang diajarkan di
madrasah merupakan kelanjutan dari keilmuan yang diajarkan di masjid.
Kegiatan pendidikan di masjid pada awalnya diajarkan hal-
hal yang berhubungan dengan masalah agama atau al-ulu>m al-diniyat
dan al-ulu>m al-lisa>niyat. Kemudian mencakup juga al-‘ulu>m al-ajnabiyyat, akan tetapi masih bersifat minor. Sedangkan Ilmu Bumi,
Matematika, Mantiq, Filsafat dan al-ti>b hanya diajarkan dibeberapa masjid tertentu. Untuk al-ulu>m
al-aqliyat juga diajarkan
hanya sebatas hal- hal yang berkaitan dengan fiqih, seperti tentang Ilmu Falaq.
2.
Aspek Aliran Keagamaan.
Akhir abad ke- 4 atau awal abad ke- 5 H, pada waktu
timbulnya madrasah, perkembangan keilmuan masyarakat muslim dapat dikatakan
telah mencapai tahap sempurna. Dari akhir dinasti Umawi hingga awal dinasti
Abbasiyah, hampir seluruh ilmu telah berhasil disusun dan disistematisasikan,
baik menyangkut al-‘ulu>m al-naqliyat maupun
al-‘ulu>m al-‘aqliyat. Perkembangan keilmuan tersebut seharusnya mewarnai
perkembangan ilmu di madrasah pada saat itu, akan tetapi kecenderungan Sunni
membatasi kawasan keilmuan madrasah.
Seperti yang telah teruraikan bahwa madrasah merupakan
lembaga pendidikan Sunni, atau lembaga aliran Fiqih dan Hadits. Aliran ini
sejak awal menolak filsafat dan Mantiq Yunani. Ulama’- ulama’ dalam aliran ini
membuktikan penolakannya dengan mengarang buku- buku yang berisikan tentang
penolakan terhadap filsafat, seperti halnya; al-Ghazali menyusun kitab Taha>fut al-
Falasifat dan lain- lain.
Dari sini, maka madrasah Sunni tidak mengajarkan mantiq dan tradisi berfikir
filasafat.
Melihat kondisi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa apa
yang diajarkan di madrasah masih berkisar pada al-‘ulu>m al-naqliyat dan
al-‘ulu>m al-lisa>niyat[16]. Dengan kata lain, madrasah melupakan al-‘ulu>m
al-aqliyat.
Menurut pendapat Atiyah al-Abrasyi yang dikutip oleh
Maksum dalam bukunya yang berjudul “Madrasah: Sejarah & Perkembangannya,
bahwa “madrasah memberikan perhatian terhadap pengajaran Agama Islam, Fiqih
empat madzhab, Tauhid, Bahasa Arab, menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk
memperkuat madzhab ahlusunnah dan menentang Syi’ah.
Jika dilihat dari perkembangannya, sebetulnya madrasah
relatif mengandung ajaran rasional, jika dibandingkan dari sistem pendidikan
aliran Fiqih dan Hadist pada masa sebulumnya. Pada abad ketiga ahli Fiqh dan
ahli Hadist masih satu sikap, yaitu bersumber pada al-Qur’an dan as-Sunnah,
kepada sahabat dan tabi’in. Pada fase kedua, memasuki abad keempat, telah
timbul perbedaan antara keduanya., berkaitan dengan timbulnya keempat madzhab
fiqih dan keterkaitan mereka terhadap produk- produk dan metode madzhabnya.
Dengan adanya paradigma seperti itu, maka kecaman dari ahli hadist mulai
menggelora, dan mereka mengeklaim bahwa ahli fiqih telah mengambil jalan
rasional dengan menerapkan ta’wil dan qiyas.
Selain dari segi di atas, tradisi rasionalitas madrasah
juga terlihat dengan diajarkannya Kalam ke dalam madrasah, khususnya Kalam
Asy’ariyah, seperti pada Madrasah Nizamiyah. Akan tetapi, meskipun beberapa
tradisi rasionalitas telaah daiterapkan di madrasah, hal itu kurang mampu
mendorong atau mendukung perkembangan ilmu pengetahuan pada saat itu.
Berkaitan dengan
aspek keagamaan, metode yang digunakan dalam menyampaikan berbagai macam
keilmuan yaitu sebatas menggunakan metode iqra’
dan imla’.
Menurut Al-Mustanshir bi Allah yang dikutip Maksum dalam
bukunya yang berjudul Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, bahwa untuk
menutupi kelemahan- kelemahan Madrasah Nizhamiyah, maka Al-Mustanshir bi Allah
pada tahun 1233- 1234 M mendirikan madrasah baru, yang disebut
al-Mustansiriyah. Madrasah ini memberikan pelayanan yang berbeda dengan
Madrasah Nizamiyah. Madrasah al-Mustansiriyah menyediakan fasilitas yang serupa
kepada tiga madzhab ahli sunnah. Dengan ini diharapkan akan terjadi persaingan
baru dan keseimbangan diantara madzhab- madzhab Sunni. Akan tetapi, usaha
al-Mustanshir juga kurang berpengaruh terhadap tradisi keilmuan pada saat itu.
Selain usaha tersebut, al-Mustanshir juga memberikan perhatian pada ilmu
kedokteran, akan tetapi hanya mengajarkan di madrasah khusus, al-Bimaristan.
Akn tetapi usaha yang kedua ini tidak berkaitan dengan madrasah, karena
merupakan lembaga tersendiri.
Dari uraian di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
tradisi keilmua madrasah jika dilihat dari segi aspek keagamaan dipengaruhi
oleh golongan- golongan yang ingin mengedepankan kepentingan untuk memajukan
golongan mereka sendiri, dari sini maka tradisi keilmuan disesuaikan dengan
tujuan golongan tersebut.
3.
Aspek Politik Pemerintahan
Madrasah merupakan babak baru dalam pendidikan Islam,
karena pemerintah telah ikut berkecimpung di dalamnya. Keterlibatan pemerintah
ke dalam madrasah sangat erta kaitannya dengan tujuan pemerintah, dari situ
maka madrasah merupakan bagian dari institusi pemerintah untuk mencapai tujuan-
tujuannya.
Dari sudut keilmuan, keterlibatan pemerintah dalam
Madrasah Nizhamiyah telah mengarahkan madrasah utuk mengajarkan materi yang
mendukung pada satu madzhab dari empat madzhab. Pengaruh lain dari keterlibatan
pemerintah terhadap tradisi keilmuan madrasah yaitu pada paengajaran Hadist.
Pilihan terhadap pengajaran Hadist merupakan kiat untuk menghidupkan ajaran Sunni
dan melawan Syi’ah. Pada masalah ini,
pemerintah mengarahkan sumber- sumber dan materi- materi hadist yang harus
diajarkan. Adapun Hadist yang mendapat perhatian untuk diajarkan adalah yang
berkaitan dengan kepahlawanan dan jihad.
Dengan adanya campur tangan pemerintah dalam memilih materi
yang akan diajarkan, maka hal ini juga mempengaruhi pemilihan teknik pengajaran
yang harus digunakan dalam pembelajaran. Adapun teknik pengajaran yang mendapat perhatian pada saat itu adalah teknik
pengajaran yang bersifat indoktrinasi yang bersifat tertutup dan
tidak memberikan kebebasan berpikir kepada peserta didik. Jika melihat kondisi
seperti ini, maka pendidikan madrasah merupakan suatu kemunduran dibanding di
masjid.
Pengaruh adanya keterlibatan penguasa dalam madrasah juga mempengaruhi pemilihan metode. Pada saat itu, para
guru diperintahkan untuk tidak mengajarkan karya- karyanya sendiri, mereka
cukup mengajarkan ucapan- ucapan para pendahulunya. Hal ini dilakukan dengan
alasan untuk mengambil berkah para pendahulu dan dalam rangka penghormatan padanya. Adanya kondisi
seperti itu, maka proses belajar mengajar sebatas pada membaca, menghafal dan
mengulangi ucapan- ucapan orang- orang sebelumnya.
Selain al-‘ulu>m al-naqliyah dan al-‘ulu>m
lisa>niyah, yang pada
dasarnya terorientasin pada Fiqih dan Kalam, madrasah juga terimbas dengan
ajaran tasawuf. Hal ini khususnya setelah al-Ghazali berhasil memfoemulasikan
tawasuf dengan syari’at. Namun, tasawuf yang diajarkan pada saat iru adalah
tasawuf akhlaqi, bukan falsafi. Namun demikian, perhatian yang istimewa terhadap tasawuf juga tidak terlepas dari maksud
politik, terutama untuk menandingi ucapan- ucapan ritual kaum Syi’ah dalam Dinasti
Fatimiyah di mesir.[17]
D. Pengaruh Madrasah
Pertumbuhan dan perkembangan madrasah pada masa klasik
mempunyai pengaruh yang cukup monumental dalam perkembangan ilmu pengetahuan
selanjutnya. Sebagaimana menurut pernyataan al-Dailami dikutip oleh Maksum, Abd
Ghani Abud yang menyatakan bahwa: “pendirian universitas- universitas di Barat
adalah sebagai hasil inspirasi dan
pengaruh madrasah (Nizhamiyha). Selain hal tersebut, menurut pendapat George
Makdisi yang dinukil juga oleh Maksum, bahwa tradisi akdemik Barat secara
historis mengambil banyak keuntungan dari tradisi madrasah.[18]
Beberapa faktor yang sangat berpengaruh bagi awal perkembangan
madrasah adalah: Pertama, adanya perhatian dan peran aktif para penguasa.[19]
Kedua, perhatian yang besar dari para saudagar, ulama, dan elemen masyarakat
lainnya.[20] Dengan
adanya elemen- elemen yang manaruh perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan
madrasah tersebut, maka madrasah tumbuh dan berkembang secara luas diberbagai
wilayah, serta ide- ide madrasah tetap eksis sampat di era modern.[21]
KESIMPULAN
1. Dalam menentukan sejarah berdirinya madrasah beberapa
ahli memiliki perbedaan pendapat, diantaranya ada yang menguraikan bahwa
madrasah berdiri melalui proses tidak langsung dan ada yang berpendapat bahwa
madrasah berdiri melalui proses secara langsung. Begitu pula dalam menentukan
madrasah yang pertama kali muncul dalam khazanah keilmuan Islam juga terjadi
perbedaan pendapat diantara para ahli sejarawan, akan tetapi dari beberapa
pendapat tersebut yang paling menonjol menguraikan bahwa madrasah pertama kali
yang berdiri yaitu Madrasah Nizhamiyah di Baghdad.
2. Karakteristik madrasah yang membedakan antara lembaga-
lembaga pendidikan sebelum madrasah dengan madrasah yaitu dapat dilihat dari
segi pengelolaan administratif madrasah.
3. Untuk menentukan tradisi keilmuan dalam madrasah dapat
ditinjau dari tiga aspek, yaitu: aspek transformasi madrasah, aspek keagamaan,
dan aspek politik pemerintahan.
4. Madrasah mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
perkembangan keilmuan selanjutnya, salah satunya yaitu madrasah mampu
memberikan aspirasi dan idenya terhadap perkembangan keilmuan di Barat.
[2] Hans Wehr, A
Dictionary of Modern Written Arabic. ed. J Milton Cowan, (Beirut: Maktabah
Lubnan, 1980), 278;
Atabik
Lutfi, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus
Kontemporer Arab- Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Ponpes Krapyak
Yogyakarta, 1997), 891; Idris Thaha, al-Madrasah
dalam Ensiklopedi Islam, Vol. 3,
(Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 205.
[3]Khan
mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai
penyimpanan barang- barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial
yang memiliki banyak toko. Khan juga
dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan untuk kebutuhan
umum. Selain kedua fungsi tersebut, khan juga digunakan sebagai asrama untuk
murid- murid dari luar kota yang hendak menimba ilmu di suatu masjid. Lihat:
Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan
Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), 64.
[4]Hisham
Nashabe, Muslim Education Institutions (Beirut: Librairie Du Liban,
1989), 22.
[5]Khan
mempunyai beberapa fungsi pada masa klasik. Di kota, khan berfungsi sebagai
penyimpananbarang- barang dalam jumlah besar atau sebagai sarana komersial yang
memiliki banyak toko. Khan juga
dijadikan benda wakaf yang menghasilkan uang yang disalurkan untuk kebutuhan
umum. Misalnya, khan al-Narsi yang berada di alun- alun Karkh di Baghdad bagian
Barat. Selain kedua fungsi tersebut,
khan juga digunakan sebagai asrama untuk murid- murid dari luar kota yang hendak
menimba ilmu di suatu masjid. Lihat: Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 64.
[6]Pendapat Georgi Makdasi didasarkan bahwa pada saat itu
banyaknya murid yang datang dari luar kota untuk belajar di masjid- masjid, dan
hal itu menuntut pembangunan pemondokan
atau asrama di sekitar masjid. Dari situ maka terjadi transformasi
masjid menjadi masjid khan. Tahap berikutnya,
masjid khan berubah menjadi madrasah yang selain dilengkapi dengan
pemondokan dan juga dilengkapi aula besar yang berfungsi sebagi tempat
diselenggarakannya prosese pembelajaran. Sedangkan pendapat Ahmad Amin Syalabi
didasarkan bahwa pada saat itu semakin
ramainya kegiatan yang dilaksanakan di
masjid yang tidak hanya dalam kegiatan ibadah (dalam arti sempit), namun juga
kegiatan pendidikan dan yang lainnya, maka dari situlah masjid secara langsung
berubah menjadi madrasah. Lihat: Suwito, et al, Sejarah Sosial Pendidikan
Islam (Jakarta: Kencana, 2005), 214-
215; Hanun Asrohah, Sejarah
Pendidikan, 99- 100; Ainurrafiq Dawan, Ahmad Ta’arifin, Manajemen
Madrasah Berbasis Pesantren (Jakarta: Listafarika putra, 200), 31- 33.
[7]Madrasah
Nizammiyah berada di Baghdad terletak di dekat Sungai Dijlah di tengah-
tengah Pasar Salasah. Mulai dibangun pada tahun 457 H/1065 M dan selesai pada
tahun 459 H, dengan arsiteknya yang bernama Abu Sa’id al-Shafi.Lihat: Abudin
Nata, Sejarah Pendidikan Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 61-62; Muhammad Tholhah Hasan, Dinamika
Pemikiran Tentang Pendidikan Islam (Jakarta: Lantabora Press, 2006), 77.
[8]Nama
aslinya adalah Abu Ali al-Hasan bin Ali
bin Ishaq at-Thusi. Dia pernah belajar di Nisapur dan berguru pada ulama’ Mazhab Syafi’i,
Habatullah al-Muwaffaq. Ayahnya seorang pegawai pemerintah Gaznawi di Thus,
Khurasan.. Ketika sebagian besar Khurasan jatuh ke tangan pasukan Salajikah,
ayahnya membawa Nizam al-Muluk lari ke Khusrawjird dan seterusnya ke Gazna. Di
sana Nizam al-Muluk bekerja pada sebuah kantor pemerintah Mahmud Gaznawi. Empat
tahun kemudian, ia meninggalkan Gazna dan menuju ke daerah kekuasaan salajikah.
Pada mulanya ia bekerja di Balkh yang dikuasai oleh saljikah (432 H/ 1040/ 1041
M). Kemudian pindah ke Marw. Kariernya meningkat sehingga ia ditarik ke istana
Sultan Alp Arslan dengan Perdana Menteri Abu Ali Ahmad bin Syazan. Ketika ia
meninggal dunia, Nizam al-Muluk ditunjuk oleh sultan sebagai perdana menteri.
[9]Dinasti
Saljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun Suku Qiniq dalam masyarakat
Turki Oquz. Ia mengabdikan diri kepada Raja Begu (daerah turkaman) yang
meliputi Laut Arab dan Laut Kaspiah. Saljuk kaum yang memerdekakan diri dari
Dinasti Samiah. Setelah Saljuk meninggal, kekuasaannya dilanjutkan oleh Thurgul
Bek, ia berhasil mengalahkan Dinasti Ghaznawi (429 H/1036 M). Kemudian ia
memproklamirkan berdirinya Dinasti Saljuk dan mendapat pengakuan dari Khalifah
Abbasyiah di Baghdad. Bani Saljuk memasuki Baghdad pada Masa thurgul yang
menggantikan Bani Buwaihi. Lihat: Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam:
Menelusuri Jejak sejarah Era Rasulullah Sampai Indonesia (Jakarta: Kencana,
2007), 158- 159.
[10]Abdul
Rahman Shaleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa; Visi, Misi, dan Aksi
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 11; : Suwito, et al, Sejarah, 215:
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2001), 160.
[12]Maksum,
Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1999), 63.
[15]
Dalam hal transformasi, tradisi keilmuan madrasah dapat dilihat sejauhmana
madrasah mempertahankan elemen pendidikan masjid di satu pihak dan menembahkan
elemen- elemen baru di pihak lain. Sedangkan dalam aliran keagamaan, kajian ini
akan memperlihatkan bagaimana madrasah dipengaruhi oleh perkembangan sekte-
sekte pemikiran keagamaan yang berkembang. Adapun dalam hal kecenderungan
politik pemerintahan, perhatian tradisi keilmuan akan dapat dijelaskan
bagaimana kepentingan politik dapat menentukan pola kajian yang dikembangkan di
madrasah. Lihat: Ibid,. 66.
[16] Al-‘Ulum al-Naqliyat adalah ilmu
yang berhubungan dengan al-Qur’an, seperti: Tafsir, Qira’at, Hadits, dan Usul
Fiqhi. al-‘Ulum
al-Lisa>niyat meliputi ilmu- ilmu bahasa dan sastra. Sedangkan al-‘Ulum al-aqliyat meliputi
Filsafat, Mantiq, Falsafat dan Kalam.
[19]
Diantara beberapa para penguasan seperti: Nizham
al-Mulk (456- 485 H/ 1063 M), Nur al-din Zanky (541- 569 H/ 1146- 1174 M),
Shalahuddin al-Ayyubi (564- 589 H/ 1169- 1193 M), dan Mutansir billah (623- 640
H/ 1226- 1242 M)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar