Karya sastra merupakan karya yang
mengandung berbagai macam fungsi. Di dalam karya sastra mengandung nilai-nilai
atau ajaran yang sangat bermanfaat bagi kehidupan. Di samping itu, karya sastra
juga menggambarkan identitas. Identitas kebudayaan suatu bangsa dapat dilihat
dari corak kebudayaan yang tereflesikan di dalam karya sastra itu. Itu sebabnya
karya sastra tidak pernah lepas dari latar belakang kebudayaan yang mendasari
lahirnya karya sastra tersebut. Corak karya sastra ini dapat dibedakan karena
berbagai hal; bahasa, budaya, politik, kondisi ekonomi, dan yang paling penting
adalah keyakinan atau agama. Itu sebabnya peranan pengarang dalam hal ini
sangat penting, sebagai subjek yang membuat karya sastra itu.
Di indonesia, karya sastra yang
berlatarbelakang keagamaan sebenarnya sudah lama ada. Meskipun karya sastra
dengan corak ini timbul tenggelam sesuai dengan kondisi sosial masyarakatnya.
Itu sebabnya, karya sastra dengan corak keyakinan atau keagamaan ini belum bisa
mewarnai secara menyeluruh atas nilai-nilai ataupun gagasan yang ada di dalam
masyarakat bangsa ini. Setelah Era Reformasi karya sastra bercorak ke-islam-an
bermunculan. Adanya reformasi telah memberikan angin segar kepada para penulis
muda muslim mengekspresikan pemikiran mereka melalui karya sastra bercorak
keagamaan ini. Habiburahman El Sirazy, Golagong, Asma Nadia, Helvy tiana Rosa
dan penulis muslim lainnya telah menorehkan pengaruh yang sangat penting bagi
kesusastraan di Indonesia.
Era Reformasi memberikan angin segar
kepada para penulis di bidang kesusastraan, karena longgarnya pengawasan
pemerintah terhadap media massa, termasuk karya sastra. Namun demikian,
nampaknya kesempatan ini belum digunakan oleh para sastrawan ataupun kritikus
muslim untuk mengembangkan karya sastra di bidang ini secara maksimal. Lahirnya
penulis dari kalangan muslim dan menyuarakan keagmaan mungkin sudah mulai
timbul kesadaran. Mengingat jumlah penduduk yang mayoritas muslim; para penulis
banyak yang berminat mengangkat isu-isu keagamaan ataupun moral yang memakai
latar belangakan masyarakat atau tokoh ke-islam-an sebagai media kritiknya.
Namun yang disayangkan, justru kritikus di bidang karya sastra islam ini masih
sangat minim. Mungkin kita mengenal Gunawan Muhammad, Taufikq Ismail, dan
beberapa pengamat sekaligus sastrawan yang berminat mengkritisi atau mengangkat
kesusastraaan islam. Tetapi karena jumlah mereka yang masih sangat terbatas,
maka gaungnya pun masih kalah dibandingkan dengan mereka yang concern pada
karya sastra yang bercorak liberal sekuler.
Di lapangan bisa kita lihat bagaimana
popularitas Ayu Utami yang dianggap sebagai pelopor kebebasan bagi perempuan
dalam karya sastra. Karya Ayu Utami mengalami lonjakan penjualan yang luar
biasa karena penilaian posistif dari para pengamat dan pendukung liberalisme
dan sekulerisme. Karya sastra Saman danLarung, karya
Ayu utami langsung disambut diberbagai negara sebagai karya monumental yang
dapat memberikan alternatif pemikiran bagi wanita modern di Indonesia. Ketenaran
Ayu utami tidak lepas dari banyaknya pengamat dan kritikus yang mendukung karya
ini. Sehingga karya ini sampai diterjemahkan dalam banyak bahasa.
Sebenarnya secara kualitas, karya sastra
bercorak ke-islam-an tidaklah kalah dengan karya-karya sekuler liberal ala Ayu
Utami. Baik dari gaya bahasa, muatan isi, apalagi pesan moral yang disampaikan
dalam karya sastra ke-islam-an. Karya Habiburahman Rahman, mungkin bisa menjadi
saingan karya Ayu Utami. Namun demikian nyatanya sampai detik ini masih sangat
minim pengamat dan kritikus yang mau mengangkat karya-karya besar ini. Kalau
pun ada masih terbatas pada kalangan-kalangan tertentu. Demikian juga,
penelitian-peneltiian di perguruan tinggi, mahasiswa yang berminat menelaah
karya sastra dengan corak keislaman ini masih sangat minim, di perguruan tinggi
islam sekalipun. Padahal, jika ditelaah secara ilmiah maupun muatan karya
Habiburahman lebih mengena bagi masyarakat Indoneisa. Minimnya kritikus dan
lembaga yang bisa mengangkat karya sastra keislaman mengakibatkan karya sastra
yang mengandung nilai-nilai keislaman tidak setenar karya yang sifatnya umum.
Karya sastra yang mendasarkan diri pada
nilai-nilai keislaman merupakan karya sastra yang memiliki nilai plus. Di
samping menghibur pemirsanya, karya sastra ini mengajarkan nilai-nilai
keislaman; baik akhlaq, aqidah dan juga ibadah. Cara berbicara, berpakaian dan
pergaulan dalam masyarakat memiliki ciri tersendiri. Interaksi yang
terefleksikan masing-masing tokoh dalam karya sastra islam menawarkan karakteristik
yang lebih santun dan sopan. Di sinilah mengapa beberapa pengamat mengatakan
bahwa sastra islam merupakan genre tersendiri *).
Apa itu karya sastra Islam?
Menurut A. Teeuw, dalam Sejarah sastra
islam Indonesia, religiusitas merupakan tema universal yang menjadi tema sastra
dari Hamzah Fansuri hingga Sutardji. Sejak jaman kerajaan negara kita sudah
memiliki banyak sastrawan yang mengangkat isu-isu keagamaan sebagai tema dalam
karya sastranya. Tema-tema keagamaan sengaja dimasukan dalam karya sastra dengan
tujuan berdakwah atau menanamkan nilai-nilai kepada pembacanya. Tema-tema
keagamaan dapat dilihat dari karya Sunan Bonang, Yasadipura II, Ranggawarsita
III, Raja Ali haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, HAMKA, Amir
Hamzah, Chiril Anwar, dll. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra mampu
dijadikan sebagai media dakwah yang menyenangkan dan penuh kedamaian.
Gunawan Muhhammad menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan sastra keagamaan adalah karya sastra yang menitikberatkan pada
kehidupan keagamaan sebagai pemecah masalah. Sastra islam adalah sastra yang
mempromosikan sistem kepercayaan atau ajaran islam; memuji dan mengakat tokoh
islam; mengkritik realitas yang tidak sesuai dengan nilai-nilai islam;
mengkritik pemahaman islam yang dianggap tidak sesuai dengan semangat islam
awal atau paling tidak sastra yang tidak bertentangan dengan prinsip islam.
Kelahiran sastra ke-islam-an membentuk
sebuah ciri yang mungkin tidak terdapat di dalam karya sastra bentuk lain.
Sebutan sastra islam dapat dipilah lagi dalam berbagai pentuk pertama,
sastra sufistik, yaitu sastra yang mementingkan pembersihan hati (tazkiyah
an-nafs) dengan berakhlaq baik agar bisa dekat sedekat mungkin dengan
Allah. Kedua, Sastra suluk yaitu, karya sastra yang menggambarkan perjalanan
spiritual seorang sufi mencapai taraf dinama hubungan jiwa telah dekat dengan
Tuhan, yaitu Musyahadah, penyaksian terhadap ke-Esaan Allah.
Ketiga, sastra transendental, yaitu sastra yang membahas Tuhan yang Transenden.
Keempat, sastra profetik yaitu sastra yang dibentuk berdasarkan atau untuk
tujuan mengungkapkan prinsip-prinsip kenabian/wahyu.
Itulah gambaran singkat tentang karya
sastra ke-islam-an di Indonesia. karya sastra ini memiliki berbagai fungsi yang
sangat bagus dalam rangka pendidikan karakter bangsa ini. Dengan demikian,
keberadaan karya sastra ini sudah saatnya diperhitungkan dan dikembangkan
secara maksimal, agar keberadaannya benar-benar memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada bangsa dan negara ini.Wallahu’alam bishawab
Ditulis oleh Wajiran,
S.S., M.A.
Dosen Fakultas Sastra
Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
Pada Opini Kompas, 11
Januari 2013